Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Romcom Ala Wali Murid [Vol 1 Chapter 13]

The Love Comedy Which Nurtured With A Mom Friend Bahasa Indonesia


Chapter 13: Kebaikan Adikku


"Nee-chan..."


Iku, yang kujemput atas nama Akiyama, menatap cemas ke pintu depan.  Dia sudah seperti ini sejak tiba.  Dia hanya duduk di lorong, menunggu kakaknya.


Rupanya, anak-anak sangat memperhatikan anggota keluarga mereka.


Iku, yang tinggal bersamanya, tahu betapa keras kakaknya bekerja karena belakangan ini, ia bisa melihat kakaknya selalu pulang kelelahan.


"Iku, kakakmu akan segera pulang, jadi ayo bermain dan tunggu di sini."


"Tidak, terima kasih."


"Kalau begitu, mari kita menonton kartun, oke?"


Kami sudah seperti ini selama satu jam ke belakang.  Jika dia melakukan semua itu demi Iku, itu adalah sebuah kesalahan karena ia telah membuatnya khawatir.


Kurasa dia tidak berniat membuat Iku khawatir.  Namun, Iku bukanlah orang yang tidak peka atau tidak berperasaan.  Jadi, dia tetap mengkhawatirkan kakaknya.


Mata polos Iku dipenuhi dengan tekad yang kuat.  Dia mungkin tidak akan mau pindah sampai kakaknya pulang.


"Ayo main rumah-rumahan."


"......Nee-chan telah melakukan yang terbaik."


"Sumi-chan?"


"Dia telah melakukan yang terbaik untukku, jadi aku harus melakukan yang terbaik juga untuknya."


Soyoka, yang memegangi boneka ular yang dibeli tempo hari, duduk berlutut di samping Iku dan ikut menatap pintu.


"Soka akan melakukan yang terbaik juga!"


"Untuk apa....?"


Hei, berhentilah melilitkan ular di leher Iku hanya karena dia tidak bereaksi!


Aku tidak berpikir ada gunanya menunggunya di sana, tapi Iku tampak cemas.  Aku memberi beberapa kata kepada mereka dan mulai memasak makan malam.


Namun, Iku tetap diam, sementara Soyoka sibuk berkeliaran karena bosan.


Saat ini pukul 18:00 ketika interkom berdering.  Pintu terbuka dan Akiyama mengintip ke dalam.


"Nee-chan!"


"Iku ...... maaf sudah membuatmu menunggu."


Akiyama menepuk kepala Iku saat dia melompat ke pelukannya dan berkata begitu dengan lembut.  Iku hanya menggosokkan pipinya dalam diam.


"Nee-chan, apa kau baik-baik saja?"


"Ya, aku baik-baik saja.  Iku tidak perlu khawatir.  Aku terlalu populer sampai semua orang bergantung padaku.  Sama seperti Iku."


"Begitu."


"Ya.  Kakakmu ini sangat luar biasa."


Seolah menghapal naskah, kata-kata itu keluar dengan lancar seolah-olah itu adalah kenyataan.  Itu bukan dusta, melainkan kebohongan yang halus.  Aku ingin tahu apakah dia sudah memikirkan jawaban itu sebelumnya?


"Tapi Nee-chan......"


"Bagaimana TK hari ini?  Iku sangat keren dan imut, aku yakin kamu pasti populer.  Apakah ada gadis yang mendekatimu? Aku takut."


"......Tidak."


"Syukurlah kalau begitu."


Iku dengan enggan menjawab perkataan cepat Akiyama.  Dengan wajah yang masih mendung.


Seorang adik yang mengkhawatirkan kakaknya.  Dan seorang kakak yang ingin terlihat keren di depan adiknya.


Aku memahami apa yang mereka berdua rasakan.  Dalam situasi normal, mereka tampak memiliki hubungan yang baik.  Namun dalam situasi saat ini, rasanya sangat terdistorsi.


Iku sangat mengkhawatirkan kakaknya melebihi yang lain.  Maka dari itu aku tidak bisa memintanya untuk berhenti.


"Terima kasih Kyota karena telah menjaga Iku."


"Oh, tidak masalah, tapi......"


"Tidak baik tinggal di sini terlalu lama, jadi kami akan pulang.  Ini sudah malam."


"Tidak, aku sudah bilang kalau aku akan membuat makan malam, kan?  Aku sudah membuatnya, jadi aku tidak menerima penolakan."


Sulit untuk menghadapi Akiyama dalam situasi saat ini.  Lidahnya yang biasanya tajam, sekarang sunyi, ditambah dia memiliki ekspresi melankolis di wajahnya.


Inilah dirinya yang sebenarnya, seorang gadis yang lemah.


Tetapi, meski dalam keadaan lemahnya itu, dia tetap bertingkah kuat.


"Tetapi ......"


"Aku ingin memakan nasi Nii-chan!"


"......Ya, baiklah.  Karena kamu telah membuatkannya, jadi aku akan menerimanya."


Akiyama akhirnya mengalah setelah didesak oleh Iku.  Dia dengan hati-hati menyusun sepatunya.  Tapi ketika dia berdiri dengan tangan di lututnya, tubuhnya terjatuh.


"Oi!"


Aku meraihnya dengan panik.  Tanganku tidak mencapainya, tetapi dia berhasil meletakkan tangannya ke dinding untuk menopang dirinya sendiri.  Dia mulai berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.


Jika telat sedetik saja, kepalanya pasti akan terbentur.  Iku menopang tubuh kakaknya dengan tangan kecilnya.


"Aku cuma kehilangan keseimbangan, itu saja."


Matanya kosong.  Setelah berpindah ke ruang tamu yang terang benderang, aku bisa melihat wajah Akiyama dengan jelas.  Keringat bercucuran di dahinya, dan di bawah matanya terdapat garis yang tidak dapat disembunyikan dengan makeup.  Dia jelas kelelahan.


"Sumi-chan ngantuk?"


Bagaimanapun juga, penampilan Akiyama tidak normal.  Dia hanya tersenyum tipis pada Soyoka dan meletakkan tasnya dengan tangan gemetar dan melipat blazernya


"Akiyama, silakan duduk dan bersantai. Kau terlalu sibuk, bukan?"


“Aku tidak sibuk.  Aku cuma belajar secukupnya saja."


"Kau mengurangi waktu tidurmu, kan?"


Di sekolah, dia harus menjadi ketua kelas.  Sepulang sekolah, dia harus menjemput Iku dan mengerjakan pekerjaan rumahnya.


Kombinasi tugas-tugas ini, yang biasanya tidak ada, telah menyita waktu belajarnya.  Jika itu aku, aku akan langsung meninggalkan pembelajaranku, tetapi Akiyama menolak untuk berkompromi dengan dirinya sendiri.


Satu-satunya cara untuk mengefisiensikan waktu adalah dengan memotong jam tidurnya untuk belajar.


"Ya. Ini adalah minggunya ball game."


Dia mengatakannya dengan sikap acuh tak acuh dan, jika harus kubilang, bangga.


Aku penasaran apakah Akiyama menyadarinya atau tidak, tapi Iku yang berdiri di sampingnya, menatapnya dengan air mata berlinang.


Dia pasti merasa bersalah.  Sejak dia pulang, dia selalu berusaha menghindari kontak mata dengan Iku.  Iku sangat mengkhawatirkan kakaknya melebihi siapa pun.


Tapi meski begitu, Iku tidak mengatakan apa-apa.  Aku yakin itu pasti karena dia berpikir kalau semua itu demi kebaikannya sendiri sehingga dia mendorong dirinya begitu keras.  Tapi jika Iku menyadarinya, dia pasti akan merasa tidak senang.


Aku tahu itu karena Soyoka juga begitu.


Anak-anak bertingkah seperti anak kecil dengan membaca suasana.  Mereka berusaha untuk tidak membingungkan orang dewasa dan berperilaku sesuai dengan umurnya.


"......Jika kau tidak tidur, kau akan sakit."


"Aku sudah tidur selama tiga jam."


"Apa?  Kalau boleh tahu, sejak kapan?"


"Sekitar seminggu, kurasa......?  Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku."


Bagaimanapun aku melihatnya, aku tidak berpikir bahwa dia akan baik-baik saja.  Jika dia tidak cukup tidur, dia tidak akan bisa belajar seefisien yang seharusnya.  Tidak mungkin dia bisa mendapatkan nilai bagus dalam keadaan seperti itu, dan yang lebih penting, itu akan menjadi beban yang terlalu berat bagi tubuhnya.


Akiyama terhuyung-huyung saat ia menuju ke dapur.


"Aku pinjam celemekmu."


"Yang perlu kau lakukan cukup memanaskannya saja, aku yang akan melakukan sisanya."


"Kyota sama sibuknya denganku, bukan?  Aku tidak bisa begitu ketika Kyota melakukan segalanya."


Memang benar bahwa keadaan kami sangat mirip.  Meskipun situasi orang tua kami berbeda, tapi kami tetap merawat adik kami menggantikan orang tua kami.  Oleh karena itu, kami merasakan empati dan rasa persahabatan.  Namun, aku tidak berpikir itu hal yang baik untuk tertekan karena melakukannya.


Pertama-tama, merawat anak-anak saat masih SMA adalah hal yang sulit.


"Aku sudah lama melakukan pekerjaan rumah, jadi aku sudah terbiasa, dan aku juga tidak belajar, karena aku mencurahkan seluruh energiku hanya untuk Soyoka."


"Itu bukan hal yang bisa dibanggakan, apalagi......"


"Apa pun itu, aku akan baik-baik saja.  Aku sudah bilang, kan?  Kita harus saling membantu."


Dia tidak pandai mengandalkan orang lain.  Tentang dirinya, tentang Iku, tentang semua yang harus dia hadapi.  Dia dengan keliru percaya bahwa dialah yang harus melakukan semuanya sendiri.


Akiyama berjongkok dengan tangannya di rak tempat celemek disimpan.  Dia mengeluarkan celemek yang dia pinjam sebelumnya.


"Terima kasih untuk hari ini.  Tapi aku tidak bisa menerimanya.  Aku tidak sempurna.  Aku harus sempurna.  Aku telah berjanji untuk menjadi kakak yang baik dan kakak yang keren, jadi....."


Kata-katanya mengalir keluar, satu demi satu, seperti omong kosong.


Aku tidak tahu apakah kesadarannya setinggi lutut atau tidak, tapi dia tidak menatapku.  Dia membuat pernyataan untuk dirinya sendiri.  Dia bergerak dengan sisa energinya.


Ini sangat menyakitkan hingga aku tidak tahan melihatnya


"Janji.....?  Dengan siapa?"


Akiyama meletakkan tangannya di rak dan perlahan berdiri.  Dia berbalik untuk mengenakan celemeknya.


"Akiyama."


Pada saat itu, tubuhnya bergetar goyah.


"Ah......."


Akiyama merentangkan tangannya, tetapi dia tidak bisa menjangkau ke mana pun.  Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.  Kakinya tersangkut, mungkin karena terjerat.


"Nee-chan!"


"Oi!  Akiyama!"


Aku meraih tangan Akiyama dan menariknya sekuat yang kubisa.  Tepat pada waktunya, aku berhasil mencegahnya menghantam meja dapur.  Aku menghentikannya dengan seluruh tubuhku.


Punggungnya terlalu kecil dan kurus untuk memikul beban yang begitu berat.  Aku secara perlahan meletakkan tubuhnya yang terlalu ringan itu di lantai.  Panas tubuhnya yang terasa di tanganku cukup panas hingga membakar kulitku.


"Iku......"


Suara samar keluar dari bibirnya yang setengah terbuka.


Akiyama menutup matanya dan sejenak kehilangan kesadarannya.


Aku membawanya ke sofa, dan sekitar pukul 8:00 malam, Akiyama akhirnya bangun.


Iku tetap bersamanya selama waktu itu dan tidak mau meninggalkannya.


Aku tidak ingin dia jatuh sakit, jadi hanya aku yang menyiapkan makan malam, dan selama waktu itu, Iku hanya menatap wajahnya dengan cemas.


"Nn-------"


"Nee-chan!


"Iku......?  Ah, maaf, aku......"


Dia sepertinya telah memahami situasinya ketika dia melihat wajah Iku yang menangis dan selimut di atasnya.


Dia mencoba mengangkat tubuhnya dengan mendorong tangannya.  Namun, Iku menahannya dengan kuat.  Kerja bagus.


"Nee-chan, jangan!"


"Sumi-chan, kalau kamu ngantuk, kamu harus tidur."


Dia masih belum siap untuk menjadi dewasa ketika ia masih ditegur oleh anak kecil.  Aku bahkan tidak mendapat kesempatan untuk berbicara.


Sangat lucu melihat Soyoka bertingkah seperti kakak perempuan dan menjadi sangat marah padanya, tapi bukan itu intinya sekarang.


Aku mengisi cangkir dengan teh dan menyerahkannya pada Akiyama.  Dia menerimanya dengan ekspresi linglung di wajahnya.


"Minumlah dulu untuk saat ini.  Apakah kau lapar?  Aku sudah menyisakan makan malam untukmu."


Kulit Akiyama telah jauh lebih baik dari sebelumnya, tapi dia masih terlihat sangat kelelahan.  Itu wajar, karena dia mengurangi jam tidurnya setiap hari, jadi tidak mungkin dia bisa pulih setelah hanya tertidur selama dua jam.


Dia memiringkan cangkir yang dia pegang di kedua tangannya.  Dia mengusap poninya yang berkeringat dengan ujung jarinya.


"Terima kasih.  Aku tidak ...... nafsu makan."


"Aku mengerti.  Kalau begitu, silakan lanjut tidur."


"Aku baru saja tidur."


"Tapi cuma dua jam."


"Dua jam sudah cukup.  Aku juga tidur di malam hari."


"Kau barusan pingsan, apa kau tidak belajar dari itu?"


Aku terkejut pada betapa rendahnya suaraku yang keluar.


Alasanku sangat kesal dengan sikap Akiyama mungkin karena aku membandingkannya dengan sikapku sendiri.


Aku juga tidak bisa berbicara untuk orang lain.  Tapi jika itu demi Soyoka, aku akan memaksakan diriku untuk melakukan apa pun yang kubisa dan tidak berkompromi.  Bisa dibilang, aku merasakan hal yang sama darinya.


Tidak heran jika posisi kami terbalik.


Ketika Soyoka masih terlalu kecil, tepatnya saat aku masih SMP, aku mengalami kesulitan dalam mengurus anak yang tidak biasa kulakukan dan juga pekerjaan rumah tangga.  Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan PR-ku karena pekerjaan rumahku tidak pernah selesai.  Aku sering terbangun di malam hari karena tangisannya.


Bukan sekali dua kali aku jatuh sakit karena terlalu banyak bekerja.


Namun, terlepas dari kelelahan fisik, aku tidak melakukan pekerjaan ini karena terpaksa.  Sebaliknya, aku merasa senang saat melakukannya.


Itu sebabnya seseorang yang bisa melihatnya dari luar harus memberinya nasihat.  Dan hanya aku yang bisa melakukan itu.


"......Aku hanya sedikit mengantuk.  Aku baik-baik saja sekarang."


Bibir Akiyama berkedut canggung.


Kata-kata "Aku baik-baik saja" yang telah kudengar berkali-kali sebelumnya, sudah tidak ada artinya dan hampa.


Lampu depan mobil yang lewat di depan rumah menerangi jendela untuk sesaat.


"Kalau begitu, tataplah mata Iku dan katakan itu padanya."


"......."


Akiyama terkejut dan melihat Iku yang sedang memegangi ujung roknya.  Dia akhirnya menghadap Iku, yang dia hindari karena rasa bersalah.


Iku tidak mengatakan apa-apa selain menatap wajah kakaknya dalam diam.


"Apa kau pikir Iku ingin melihatmu bekerja keras sampai jatuh sakit?  Apakah menurutmu itu benar membuat Iku menangis karena mengkhawatirkanmu?"


“......Aku tidak bermaksud membuatnya khawatir.  Aku hanya ingin menjadi kakaknya.  Aku ingin menjadi kakak yang sempurna.  Aku ingin menjadi kakak yang keren."


"Apa kau sungguh berpikir kalau kau adalah kakak yang keren sekarang?"


"Aku selalu tenang, cerdas, dan mampu melakukan apa saja.  Itulah kakaknya.  Aku."


Itulah bayanganku tentangnya sampai aku bertemu dengannya di upacara masuk TK.  Aku yakin itu semua adalah sesuatu yang dia kembangkan melalui upaya tak kenal lelah.


"Tapi aku tidak melihatnya seperti itu."


"Lalu apa yang harus kulakukan?!"


Akiyama mengangkat suaranya untuk pertama kalinya.


Suaranya bergema di ruangan yang sunyi, yang semakin mengikis ketenangannya.


"Aku hanya punya Iku!  Aku tidak peduli dengan diriku sendiri asalkan itu untuk Iku!  Tidak peduli seberapa keras jalannya, aku akan terus menjadi kakak yang sempurna baginya!  Jangan bicara padaku seolah-olah kamu mengerti!"



Gadis bernama Akiyama Sumi ini adalah orang yang tidak pandai memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga, tidak pandai berteman dan mengungkapkan perasaannya, serta panik ketika terjadi kejadian tak terduga.  Dia hanyalah gadis normal yang menyayangi adiknya, yang ingin terlihat sempurna.


Dengan tujuan itu, ia telah melakukan apa yang telah lakukan secara berulang-ulang, yang pada akhirnya memakan tubuhnya layaknya kutukan.  Itu hampir seperti obsesi.


"Mengapa kau begitu terobsesi pada kesempurnaan?!  Apakah Iku menyuruhmu melakukan itu?  Tidak!"


Aku ikut meninggikan suaraku.


"Onii-chan, takut......"


Percakapan kami, yang berubah menjadi adu bacot, membuatku ingin menangis karena telah menakuti Soyoka.


Akiyama mendapatkan kembali ketenangannya ketika dia mendengar suara gemetar mereka berdua.


Iku juga terlihat ketakutan dan menatap kakaknya.


Aku tidak ingin bertengkar dengannya di depan Soyoka dan Iku.


Mata Akiyama berenang saat dia mencoba mencari kata yang tepat.


"Aku berjanji untuk menjadi kakak yang baik untuk Iku ketika dia lahir.  Aku akan menjadi kakak yang diimpikan oleh semua orang, kakak yang bisa dibanggakan oleh Iku."


Akiyama menepuk kepala Iku dengan tangan gemetar dan senyum hangat di wajahnya.


"Kau berjanji ......... dengan siapa?"


"Ayahku, yang bahkan tidak tahu seperti apa wajah Iku."


"Maksudmu....."


"Dia meninggal dalam kecelakaan sesaat sebelum Iku lahir."


Akiyama membungkus Iku dalam pelukannya.  Mungkin ia mencoba untuk menghilangkan gemetar pada tubuhnya.


Aku benar-benar tercengang.  Pada saat yang sama, aku menyesal karena telah bertanya padanya tanpa berpikir.


Memang benar dia tidak pernah menyebutkan ayahnya.  Kalau dipikir-pikir, ada banyak kesempatan ketika kami berdua merasa tidak memiliki ayah.  Ya, baru-baru ini, dia juga menyatakan bahwa dia harus melakukan pekerjaan rumah karena ibunya bekerja.


Bahkan ketika aku pergi ke rumah mereka, mereka tidak memberiku indikasi bahwa ayah mereka ada di sana.  Seisi ruangan diatur dengan cara yang sangat feminin.


Ayahku juga tidak ada di rumah, jadi aku tidak terlalu memperhatikannya.  Namun, situasinya benar-benar berbeda.


"Sebelum dia meninggal, ayahku mengatakan kepadaku bahwa aku harus menjadi kakak yang baik yang bisa menjadi panutan baginya.  Ibuku merasa kehilangan, jadi aku harus menjadi kakak yang keren sebagai gantinya.  Aku adalah kakaknya Iku.  Tetapi pada saat yang sama, aku juga seorang ayah dan ibu untuknya.”


"Jadi itu sebabnya kau memaksakan dirimu untuk menjadi sempurna......?"


"Ya."


Jika ia meninggal tepat sebelum Iku lahir, itu berarti terjadi tiga atau empat tahun yang lalu.  Sulit untuk membayangkan betapa shock mereka ketika tiba-tiba kehilangan tulang punggung keluarga di saat memiliki anak kecil.


Aku bertanya-tanya bagaimana jika itu terjadi dengan Soyoka.  Untungnya, aku tidak perlu mengkhawatirkan tentang uang karena ayahku bekerja di luar negeri.


Setelah melahirkan, ibuku pulang kerja setiap setengah minggu sampai Soyoka berusia satu tahun.  Selama waktu itu, aku juga melakukan pengasuhan anak.  Sebagai anak SMP, aku berjuang dengan pekerjaan rumah tangga dan mengasuhnya, tetapi aku tetap memiliki waktu luang.


Dalam kasus Akiyama, bagaimanapun juga, dia tiba-tiba dilemparkan ke dalam situasi yang dia belum siap untuk menjalaninya.


"Begitu ......... Akiyama harus menjadi sempurna, huh?"


Dengan memasukkan kata-kata itu, resolusi meningkat dengan cepat.


Akiyama Sumi, yang masih merupakan gadis SMP, dipaksa untuk menjadi dewasa dengan kelahiran Iku.  Situasi tersebut tidak mengizinkannya untuk tetap menjadi gadis yang lemah.


Akiyama menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata.


"Jika kamu sudah mengerti, tolong tinggalkan aku sendiri.  Ini tidak ada hubungannya dengan Kyota, kan?"


"Tidak apa-apa, aku sudah memberitahumu sebelumnya, bukan?  Kita adalah teman ibu."


"Ya, aku sangat menghargai bantuanmu hari ini.  Aku mungkin membutuhkan bantuanmu juga untuk Iku di masa depan.  Tapi aku yakin bahwa urusanku sendiri tidak ada hubungannya denganmu.  Kita memang teman ibu, tapi kita hanya terhubung melalui Iku dan Soyoka-chan."


Dia dengan dingin menolakku sebagai tidak lebih dari teman sekelas, bahkan bukan sebagai teman biasa.


"......Kami akan pulang."


Hari sudah gelap.  Jika ia tinggal terlalu lama, itu akan menyulitkannya untuk hari esok.  Tapi tubuh Akiyama sudah pada batasnya, dan aku tidak berpikir dia bisa pulang ke rumah sendiri.


Aku yakin jika dia pulang, dia mungkin akan begadang lagi hari ini untuk mengerjakan tugas dan belajar.


Namun, tidak ada lagi yang bisa kukatakan padanya untuk membujuknya agar tetap tinggal.


Akiyama turun dari sofa, dengan cepat memakai blazernya, dan membawa tas Iku dan miliknya sendiri.  Gerakannya lesu dan tidak memiliki tanda-tanda kelincahan.


Dia tidak melakukan kontak mata dengan Iku, yang gelisah seolah-olah sedang mencoba untuk mengatakan sesuatu.  Kupikir dia merasa bersalah karena telah menggunakan Iku sebagai alasannya.


Aku juga punya kenanganku sendiri.  Aku pernah menyalahkan Soyoka atas kesulitan yang kuhadapi dalam kehidupan sehari-hariku.  Tapi, itu bukan berarti aku tidak ingin melakukannya.  Aku malah merasa bangga karena bisa membantu Soyoka.


Ya, memang begitu.  Aku selalu berpikir bahwa berkorban untuk Soyoka adalah hal yang benar untuk dilakukan, dan aku tidak pernah sekalipun berpikir, "Andai saja dia tidak ada..."


"Jangan!"


Soyoka memecah leheningan.


Akiyama menghentikan langkahnya dengan posisi tangan sedang bersandar di pintu geser.


"Soka tidak mau Onii-chan kelelahan karena Soka, tahu!"


Dengan suara gemetar, dia mengutarakan pikirannya dengan suara yang goyah.  Suaranya hampir menangis, dan tetesan air menetes dari pipinya.


"Soyoka......"


"Soka tidak mau Onii-chan mengantuk, tidur, atau pingsan."


Soyoka terduduk di lantai dengan matanya tertuju pada Akiyama.


Aku bertanya-tanya berapa banyak tekanan yang dialami olehnya dalam tubuh kecilnya itu.


Atau mungkin, dia bisa menelan dan memahami percakapan kami lalu mengutarakannya melalui kata-katanya sendiri?


"Onii-chan memang bodoh dan aneh, tapi dia adalah kakak yang baik."


"Huh?"


Ini agak aneh ...... aku bertanya-tanya mengapa dia sedikit kasar dalam konteks ini!


"Soka akan baik-baik saja tanpa Onii-chan."


Guh.


Kakakmu ini jadi ingin menangis darah saat mendengarmu mengatakan itu, tahu!


Kata-kata Soyoka mungkin tampak membingungkan, tetapi semuanya menyampaikan esensi pesan.  Tapi cara dia mengatakannya tidak benar!  Itu adalah critical hit bagiku!


Sederhananya, dia ingin mengatakan bahwa tidak apa-apa jika kakaknya tidak sempurna.  Tidak apa-apa jika kakaknya memiliki kekurangan, dan tidak apa-apa jika kakaknya tidak mengawasinya setiap saat.  Itulah yang dia coba untuk katakan.  Tapi dia tidak benar-benar mengeluh padaku, bukan?


"Soka sayang Onii-chan meskipun dia tidak keren."


Aku memeluk punggung Soyoka yang kecil namun memukau dari belakang.  Dia sedikit gemetaran.


Soyoka baru saja bertemu dengannya, dan dia lebih tua bertahun-tahun darinya, tapi dia sangat serius tentangnya sampai dia menangis.  Aku ingin tahu apakah Soyoka bisa melakukan hal seperti ini beberapa bulan yang lalu?  Mungkin dia sedang membandingkan situasi mereka dengan situasinya sendiri.


Aku merasa bahwa dia telah tumbuh dewasa.  Dia hanya seorang gadis kecil yang terhuyung-huyung beberapa bulan yang lalu, tetapi sekarang aku menyadari bahwa dia sudah menjadi gadis yang luar biasa.


"Aku juga!"


Selanjutnya, ada punggung kecil lain yang tampak bisa diandalkan.


"Aku juga, aku tidak terlalu lemah sampai harus dilindungi terus oleh Nee-chan."


"Iku, aku-------"


"Aku ingin kau istirahat dengan baik, Nee-chan.  Meski Nee-chan tidak sempurna, tapi Nee-chan tetaplah Nee-chan.  Kau adalah Nee-chan yang keren!"


Untuk pertama kalinya, Iku, yang selalu begitu pemalu, berhasil mengutarakan perasaan murninya secara langsung.


Tas Akiyama terlepas dari bahunya dan jatuh ke lantai.


"Kau selalu berusaha keras, Nee-chan.  Kau berusaha terlalu keras."


"Kupikir aku harus sempurna agar bisa diterima sebagai kakak......"


"Itu tidak benar."


Kakak beradik ini sangat mirip.


Mereka kuat dan sok.  Mereka peduli terhadap satu sama lain melebihi siapa pun, tetapi mereka tidak saling menunjukkan perasaan mereka, sehingga jalan mereka saling bersilangan.


Tapi hari ini, mereka berhasil mengungkapkan dan mengeluarkan perasaan tersembunyi mereka.


"Benarkah?  Aku tetap bisa menjadi kakaknya Iku meskipun aku tidak bisa berbuat apa-apa?"


"Ya.  Bahkan jika Nee-chan tidak bisa melakukan apa-apa, Nee-chan tetap menjadi kakak favoritku."


"Iku..."


Akiyama secara perlahan berlutut dan memeluk Iku.  Ia memeluknya erat, tanpa melepaskannya.


Kupikir "Saudara kandung" memiliki hubungan yang sangat istimewa.


Terkadang sebagai keluarga, terkadang sebagai teman terdekat, dan terkadang sebagai pengasuh dan penerima.


Mereka sangat terikat satu sama lain hanya karena mereka terlahir dari orang tua yang sama.


Ini menumbuhkan ikatan khusus yang tidak dapat diciptakan oleh orang asing.


"Benar, aku juga menyayangi Iku."


"Tapi Nee-chan tidak bisa masak."


"Aku bisa ....... tidak, aku terkadang suka membuat kesalahan."


Ekspresi wajahnya sudah tenang seolah-olah dia baru saja melepaskan semua beban di hatinya.


Mereka berdua sudah baik-baik saja sekarang.  Meskipun belum ada yang terselesaikan di sekolah, tapi ini sudah cukup.  Mulai sekarang, mereka akan saling memahami lebih baik daripada sebelumnya, dan mereka akan menjadi saudara terbaik yang pernah ada.  Meskipun mereka tidak bisa mengalahkan kami.


"I-Iku!"


"Tidak apa-apa, Nee-chan."


"Iku, maafkan aku.  Terima kasih.  Aku senang karena kamu adalah adikku."


"Aku juga senang karena kau kakakku."


Iku mengulurkan tangannya dan menepuk punggung Akiyama.


"Iku dan Sumi-chan sudah baikan."


Soyoka tersenyum padaku dengan ekspresi bangga di wajahnya.  Yah, dialah yang paling banyak berkontribusi.


Aku menepuk kepala Soyoka dan mendekati Akiyama bersaudara.  


"Akiyama."


Ketika aku memanggilnya, dia mendongak dengan kaget.


"Sebagai kakak, kita harus menunjukkan kepada mereka hal-hal yang baik.  Tapi kita bukan manusia hebat.  Kita bisa membuat kesalahan, dan mungkin ada banyak hal yang tidak kita ketahui dan tidak bisa kita lakukan."


Sejak Soyoka lahir, aku tidak bisa memberitahunya berapa banyak kesalahan, besar ataupun kecil, yang telah kubuat.  Bahkan sekarang, aku masih suka membuat kesalahan setiap harinya.   Aku bahkan merasa tidak cukup baik dan gagal sebagai kakaknya.


"Tapi itu wajar.  Tidak ada yang bisa melakukan segalanya sejak awal.  Kupikir penting untuk mengakuinya."


"......Kamu benar."


"Jadi, mari kita tumbuh bersama.  Sebagai kakak dari adik-adik kita yang baru berusia 3 tahun.  Aku sama sepertimu.  Tidak apa-apa untuk mengambil langkah kecil.  Jangan terburu-buru.  Mari kita bergandengan tangan dan berjalan selangkah demi selangkah."


"Bersama Iku..."


Akiyama mengulanginya sambil menatap Iku.


"Membesarkan anak bukan hanya tentang membesarkannya.  Ini juga tentang tumbuh bersama dengan mereka.  Selain itu, aku ... aku bisa punya teman ibu.  Mari kita besarkan mereka bersama-sama.  Kita berempat."


Kupikir akulah yang merawat adikku, tetapi ternyata, akulah yang telah terbantu olehnya.


Perasaan yang Soyoka berikan padaku membuatku tumbuh.


Berkat Soyoka, hari-hariku penuh dengan warna.  Aku selalu didukung oleh cinta tanpa syarat yang diberikan Soyoka kepadaku.  Aku tidak hanya memberikannya secara sepihak.  Sebaliknya, aku juga menerima lebih banyak darinya.


Kami saling mempengaruhi dan tumbuh bersama.  Itulah arti sebuah keluarga.


"Anak-anak tumbuh begitu cepat sehingga jika kita tidak berhati-hati, kita mungkin akan tertinggal."


Akhirnya, dia tersenyum pahit di pipinya.


Ya, cepat atau lambat aku mungkin tidak akan bisa lagi melihat Soyoka yang imut dan menggemaskan seperti sekarang.


......Yah, itu membuatku sedih.


"Aku sama sekali tidak sempurna."


"Kamu baru menyadarinya?"


"Tapi aku tidak harus menjadi sempurna, bukan?"


"Ah."


Akiyama, yang berusaha untuk menjadi sempurna, tertunduk.


Aku yakin ini adalah sesuatu yang sepenuhnya akan membalikkan sistem nilai yang telah dikembangkannya selama tiga tahun terakhir ini sejak Iku lahir.


"Terima kasih, Kyota."


"O-Oh.  Apa kau mau makan?"


"Ya, aku mau ...... bisakah kamu mengajariku cara membuatnya nanti?"


Dia melepas blazernya lagi dan berkata dengan senyum cerah.


Kupikir dia yang sekarang jauh lebih cantik dan menawan dibanding dirinya yang bersikap sok keren.


------Yah, meski cuma sekitar dua per tiganya Soyoka.