Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Romcom Ala Wali Murid [Vol 1 Chapter 14]

The Love Comedy Which Nurtured With A Mom Friend Bahasa Indonesia




Chapter 14: Demi Adikku


[POV Akiyama]


Aku bertanya-tanya apakah aku sudah menjadi kakak yang layak untuk Iku?


Setiap malam, ketika aku melihat wajah polosnya saat tidur nyenyak di futon yang sama, aku berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama pada diriku sendiri.


Setiap kali memikirkannya, satu-satunya jawaban yang muncul di pikiranku adalah tidak.


Belajar?  Masih kurang.  Aku harus kuliah di universitas negeri dan menabung sebanyak-banyaknya.  Aku ingin Iku bersekolah di sekolah yang bagus.  Aku ingin dia mengikuti teladanku dan belajar dengan giat.  Aku ingin bisa mengajarinya.


Bagaimana dengan pekerjaan rumah?  Kurang banget.  Aku seharusnya meminta ibuku untuk mengajariku lebih banyak sebelum dia mulai kerja lembur.  Aku tidak pandai bersih-bersih ataupun mencuci pakaian.  Keahlian memasakku sangat ampas, dan Iku memiliki kesan yang buruk tentang itu.


Bagaimana dengan merawatnya?  Terlalu sulit.  Anak-anak mudah marah karena mereka tidak dapat diprediksi.  Saat Iku masuk angin, aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa.


Bagaimana dengan persahabatan?  Aku tidak punya teman, atau bahkan seseorang untuk kuajak bicara.  Aku muak dengan ketidakmampuanku sendiri, tetapi di sekolah, aku memasang ekspresi acuh tak acuh dan mengabdikan diri untuk belajar.  Berkatnya, hal itu memberiku kesan orang yang keren dan cerdas, yang merupakan tujuanku.  Kupikir Iku akan mengagumiku untuk itu.


Apakah aku sudah bisa menggantikan posisi ayahku?  Dia adalah pria yang baik dan bijaksana, ayah yang sempurna yang seharusnya dimiliki oleh Iku.  Dia adalah ayah keren yang aku kagumi.


Apakah aku dapat memenuhi peran seorang ibu dalam ketidakhadiran ibuku?  Bukan hanya dalam pekerjaan rumah.  Apakah aku mampu memberikan dukungan emosional seperti ibuku, yang sedikit keluar dari lingkaran tetapi mampu mencakup segalanya?


Boro-boro.


Sebagai kakaknya, aku tidak cukup baik.  Aku harus lebih sempurna.


Aku sudah lama berpikir demikian.


Aku akan menjadi kakak yang baik baginya tahun depan!  Aku tidak yakin apakah aku akan menjadi kakak yang keren atau tidak.  Atau, haruskah aku berubah menjadi kakak yang imut dan cantik untuknya?


Aku bisa membayangkan wajah ayahku saat dia mengusap perut ibuku yang sambil tertawa pelan.


Mereka adalah pasangan serasi dan hubungan mereka berjalan dengan baik.   Mereka adalah pasangan yang jarang bertengkar.  Mereka adalah gambaran dari apa itu keluarga bahagia.


Dari sudut pandangku, ayahku adalah seorang pria tanpa cacat.  Bahkan ketika para gadis di sekitarku mulai membicarakan hal buruk tentang ayah mereka, tapi alih-alih membencinya, rasa hormatku padanya malah semakin besar.


Aku tidak pernah melihatnya gagal dalam segala hal.  Dia melakukan segalanya dengan wajah dingin, entah itu pekerjaan rumah ataupun mengasuh anak.  Namun, dia sangat baik kepadaku dan juga ibuku.


Itu sebabnya kami semua bersukacita atas penambahan anggota keluarga baru ke rumah bahagia kami.


--- "Kau adalah kakaknya, jadi kau harus memberi contoh yang baik baginya.  Itu adalah janji."


Pada saat itu, aku tidak tahu bahwa ayahku akan mengalami kecelakaan, jadi aku menganggapnya sebagai janji yang sederhana.  Aku masih SMP kala itu.  Kupikir dia hanya ingin aku bersikap baik kepada adikku.


Kami tidak sabar menunggu Iku lahir, dan kami selalu membicarakannya dari waktu ke waktu.


......Aku tidak terlalu ingat tentang hal-hal setelah ayahku meninggal.


Keluarga kami bahagia, tetapi dalam semalam, kami tenggelam ke dalam lubang keputusasaan.


Sejak hari itu, aku dan ibuku tidak lagi banyak bicara.  Jika aku membuka mulut, aku akan menyadari bahwa ayahku telah tiada.


Aku lupa caranya tertawa.  Itu adalah sesuatu yang ayahku ajarkan kepadaku.


Waktu terus berjalan, bahkan di tengah hari-hari yang hambar ini.  Dalam pikiran ibuku, adikku telah tumbuh dengan baik.


Setelah pemakaman, Iku lahir.


Pada awalnya, kupikir tidak ada artinya lagi memiliki adik setelah kematian ayahku.  Aku tidak bisa merasa senang karena ayahku telah tiada.


Tapi sekarang, aku sangat menyesal bahwa aku pernah berpikir seperti itu.


Bertentangan dengan pemikiranku, Iku telah membawa senyuman ke wajah kami.  Hidup kami secara bertahap menjadi terpusat di sekitar Iku, dan di tengah kesibukan kami yang memusingkan, kami secara bertahap mulai melihat ke depan.


Hanya ketika aku bersama Iku aku bisa tersenyum dari lubuk hatiku.  Iku adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa menemukan kenyamanan.


Berkat Iku, keluarga kami yang berada di titik terendah, bisa menjadi lebih cerah.  Dan kemudian aku teringat pada kata-kata ayahku.


Aku akan menjadi kakak yang keren.  Aku akan menjadi kakak yang sempurna, sama seperti ayahku.


Itulah peran yang harus kuambil di rumah tanpa ayah ini.


Aku akan mengisi lubang yang ditinggalkan ayahku.


Tapi, aku tidak bisa menjadi ayahku.......


Aku tidak bisa melakukan apa-apa.  Ibuku mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan kami pindah ke apartemen yang murah.  Meskipun lingkungan berubah dengan cepat, tapi aku tetap menjadi anak yang tidak berdaya.


Ibuku bekerja seorang diri dan mengelola rumah tangga serta membesarkan Iku.  Sebagai anak SMP, yang bisa kulakukan hanyalah menontonnya saja.


Ini tidak berubah bahkan setelah aku masuk SMA.  Baru setelah Iku masuk TK dan ibuku menjadi sibuk pada saat yang sama, aku akhirnya menyadari betapa sulitnya itu baginya.  Sampai saat itu, aku selalu menggunakan pembelajaranku sebagai alasan untuk tidak menghadapinya.  Kupikir aku terlalu dimanjakan karena ibuku selalu memaafkanku.


Aku jauh dari menjadi kata kakak yang sempurna.  Aku semakin menyadarinya dalam beberapa hari terakhir.


Tapi, Iku memberitahuku bahwa itu tidak masalah.


Kyota dan Soyoka juga memarahiku.


Tentu saja, janji yang kubuat dengan ayahku tetap menjadi hartaku.


Tapi berkat mereka bertiga, aku bisa sedikit mengubah cara berpikirku.


--- "Kau sudah menjadi kakak yang baik."


Aku merasa seolah-olah ayah dalam ingatanku telah mengatakan itu kepadaku.


Aku bisa melihat sedikit tumpang tindih antara gambaran ayahku dan gambaran Kyota.  Auranya, caranya memperlakukan anaknya, caranya berpikir.  Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik, tapi entah bagaimana, dia terasa mirip dengan ayahku.


Tidak heran Iku sangat menyukainya.  Tapi entahlah, kupikir ayahku lebih tampan dan lebih pintar darinya.


"Aku tidak boleh kalah dari Kyota, bukan?"


Dia menjadi sedikit sombong hanya karena telah melakukan pekerjaan rumah untuk waktu yang lama.  Tapi aku akan menyusulnya dalam waktu singkat.


Aku dengan lembut mencium dahi Iku saat dia mendesah dalam tidurnya di sebelahku dan menenggelamkan kepalaku ke bantal.