Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aku Suka Dia Duluan [Vol 1 Chapter 1.1]



I Liked Him First Bahasa Indonesia


Chapter 1: Hubungan Segitiga


--- "Ketika kamu pertama kali punya pacar, itu akan terasa sangat istimewa untukmu."


Kakakku, yang 8 tahun lebih tua dariku, biasa mengatakan itu padaku.


Ketika dia masih menjadi mahasiswi, dia bekerja paruh waktu di sebuah restoran.  Salah satu bagian dari pekerjaannya adalah untuk memuaskan pelanggan.  Namun, itu bukan berarti dia harus memuji pelanggan dengan mengatakan kalau mereka tampan atau apa.  Karena itu memiliki efek sebaliknya pada orang yang wajahnya rata-rata.  Itu akan membuat mereka tersinggung.


Dalam kasus seperti itu, ada cara yang tepat untuk menunjukkan pujiannya terhadap pelanggan.


Yaitu dengan memuji bentuk bisepnya bagus atau jari-jarinya yang panjang yang mampu membuatnya jatuh cinta.  Itu membuatnya terdengar seolah-olah dia mengatakan apa yang sebenarnya dia maksud dan tidak mengandung kebohongan sedikit pun.


Dan jika dia masih belum mampu mengatasinya, maka ia akan mengeluarkan jurus pamungkasnya.


--- "Tuan, Anda terlihat seperti pacar pertama saya."


Itu tidak secara langsung mengacu pada penampilannya, tetapi dia tetap merasa bahwa itulah yang dia maksud.


Bahkan jika dia tidak secara langsung menyebutkan penampilannya, entah bagaimana, itu memberi kesan bahwa dia telah memujinya dan juga bahwa dialah satu-satunya orang yang berharga baginya 


Dia pernah menggunakan cara ini untuk menaklukkan pelanggan yang selalu menolak tawaran minum dari gadis mana pun.


Begitu, yah.....


Aku tidak peduli dengan pro dan kontra dari manual layanan pelanggan kakakku.  Yang ingin kutanyakan adalah, apakah pacar pertama benar-benar terasa istimewa bagi kebanyakan orang?


Apakah alasannya karena itu hanya datang sekali seumur hidup?


Atau karena itu akan menetapkan standar untuk hubungan masa depan?


Atau mungkin, karena itu memberimu sertifikat bahwa kau telah diterima oleh orang lain?


Yah, ada banyak kemungkinan alasannya.


Di sisi lain, bisa jadi pacar pertamamu hanyalah masa lalu, pengalaman sekilas dan kau tidak dapat mengingat wajahnya lagi di masa depan.


Adapun diriku, jika aku adalah pelanggan kakakku, jelas aku akan merasa senang.


Dengan kata lain, aku juga berpikir bahwa pacar pertamaku adalah sesuatu yang istimewa.  Dan alasannya adalah...


***


"Perutku sakit, aku ingin pulang dan berbaring secepatnya."


"......Serahkan padaku.  Silakan beristirahat di rumah saat pulang nanti."


Sepulang sekolah di ruang kelas kelas 3 tahun kedua.


Mendengar perkataanku, teman sekelasku yang sakit itu terkejut.  Tentu saja, itu karena kata-kataku barusan ditujukan langsung kepadanya.


Dia adalah gadis yang piket hari ini.


Wali kelas memberinya sejumlah besar file dengan mengatakan, "Ini adalah file dari klub surat kabar, jadi tolong kembalikan ke ruang klub."


Kemudian, dia memberikan semua file itu kepadaku yang duduk di dekatnya sambil memegangi perutnya dengan ekspresi sedih.


"Tolong urus mereka, oke......"


Gadis itu dengan cepat meninggalkan kelas sambil menatapku seolah aku ini orang aneh.


"Apa yang sedang kamu dorong?"


"Oh, hai cantik.  Bisakah kau menolongku sebentar?"


"Maaf, aku tidak bisa.  Perutku terasa mau meledak."


"Oh, itu masalah besar."


Saat ia mengobrol santai dengan seorang anak laki-laki yang duduk di kursi di belakangku, kupikir alasan gadis itu sebelumnya sudah tidak lagi relevan.  Sungguh menakjubkan bahwa kebohongannya tidak terungkap karena aktingnya yang kikuk.


Aku berdiri dan melihat sekeliling kelas.


Ada seorang anak laki-laki yang tampak sedikit gugup sedang berbicara dengan seorang gadis ramping di kursi dekat pintu.


"Kaniyama-san ... kkita mau bermain bowling setelah ini."


"Aku tidak tertarik."


"Bagaimana kalau ke karaoke?"


"Aku juga tidak tertarik."


"Oh, begitu.  Sayang sekali."


Sebenarnya dia bukannya tidak tertarik pada bowling atau karaoke, tetapi dia tidak tertarik padamu.


Walaupun mendapat penolakan, tapi anak laki-laki itu memberikan senyuman lembut meskipun bahunya agak merosot.


Dan setelahnya, ia menangis kepada teman-temannya dan dihibur oleh mereka saat mereka berjalan keluar kelas.


Bisa dibilang, ini sudah menjadi pemandangan yang biasa.


Ini baru seminggu sejak pergantian kelas.  Tapi dalam waktu sesingkat itu, sejumlah teman sekelas, baik laki-laki maupun perempuan, telah mendekati gadis ramping yang sangat cantik itu sehingga aku tidak bisa untuk tidak memperhatikannya.


Namun, mereka semua ditampar oleh sikap dinginnya itu, seperti yang baru saja terjadi tadi.


Dia adalah satu-satunya gadis di kelas yang tidak bisa diajak bicara dengan normal.


Meskipun ....... sekarang gadis itu sedang mengarah langsung ke tempat dudukku.


Dia mengulurkan jari-jarinya yang panjang dan indah ke tumpukan file di mejaku.


Banyaknya file A4 tebal dari klub surat kabar tentu akan merepotkan jika harus kubawa sendiri.


Ketika aku sedang memperhatikannya, gadis itu sudah berjalan pergi dengan setengah file di tangannya.


"Aku harus membawanya ke ruang surat kabar, bukan?"


Aku bisa merasakan seisi kelas sedikit berdengung karenanya.


Aku yakin ini pertama kalinya mereka semua melihat gadis di depanku ini, Kaniyama Komugi, secara agresif terlibat dengan salah satu teman sekelasnya, apa lagi orang itu laki-laki.


"Mari kita pergi dari sini."


"Kani, tunggu aku!"


Tepat saat aku hendak mengikutinya keluar lorong, aku dicengkeram oleh salah satu teman sekelasku di bahu.


Itu menyakitkan.


"Aki-kun, apa kau baru saja memanggilnya Kani?"


"Huh?  Kapan aku memanggilnya Kani?"


"Apa kau jago mengelak karena namamu Aki Gen?"

[TL: Kata "Gen" artinya mengelak.]


Hei, jangan membuat lelucon dengan namaku!


"......Itu karena kami teman masa kecil."


Aku memberinya alasan yang sebenarnya.


"Benarkah?"


"Iya."


"Bohong!  Kalian tidak terlihat seperti itu......!"


Tapi itu benar, maka dari itu aku memberitahumu dengan jujur.


Ia memiliki rambut panjang berwarna coklat tua.  Meskipun ia miskin ekspresi, tapi wajahnya rapi dan matanya tajam.


Kardigan rajut yang ia pakai cukup panjang untuk menutupi roknya, dan pahanya ramping sangat menggoda bagi para pengintip.


Di sisi lain, payudaranya tampak lebih besar dari ukuran rata-rata. 


Dia adalah wanita cantik yang bermartabat dan keren dengan punggung yang lurus setiap saat, atau dengan kata lain, dia adalah Takane no Hana.


Kami masuk ke SD dan SMP yang sama, maka dari itu kami telah saling kenal sejak kecil.


Karena takut jika mereka mulai menggali lebih dalam, aku pun memutuskan untuk kabur ke lorong..


Ketika aku keluar dari kelas, aku melihat seorang gadis dari kelasku dari sudut mataku.  Dia adalah gadis cantik yang menonjol dari keramaian dan memiliki tampilan yang berbeda dari Komugi.


Tiba-tiba, mata kami bertemu.  Pada saat itu, untuk beberapa alasan, gadis itu tampak gelisah.


Apa itu?


Aku mencoba memikirkannya dalam hati, tetapi aku memutuskan untuk mempercepat langkahku agar tidak tertinggal.


***


"Terus?"


"Apanya?


"Kani, bukankah kau memiliki sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan denganku?"


"...........Apanya?"


Aku bertanya begitu sambil berjalan menyusuri lorong di samping Komugi.


Kupikir ini waktu yang tepat untuk membahasnya.


"Kani tidak terlalu aktif saat berinteraksi dengan orang lain.  Tapi jika kau melihat seseorang dalam masalah, kau akan langsung membantunya tanpa ragu-ragu.  Mungkin kau tidak sadar, tapi kau seharusnya melakukan itu hanya kepada orang yang dekat denganmu saja.  Dan karena kau sudah menunjukkan niat baikmu, jadi aku tidak akan menolaknya.  Tapi lain kali, jika kau ingin membantuku membawanya, tolong datanglah sekitar saat aku keluar ke lorong sendirian dengan file di tanganku.  Jika kau melakukannya seperti tadi, itu membuatku berpikir bahwa kau memiliki sesuatu untuk dikatakan padaku sehingga membuatmu agak tidak sabaran dan langsung menghampiriku di kelas."


"......"



"Hei, jika kau ingin menendangku, setidaknya kasih peringatan dulu!"


Komugi dengan ringan menendang tulang keringku beberapa kali dengan jari kakinya.


Yah, itu tidak menyakitkan karena itu tendangan malu-malu.  Mau tak mau aku hanya bisa tersenyum kecil saat melihatnya melakukan itu, yang terlihat seperti candaan antar saudara kandung.


"Apa-apaan itu?  Ada apa dengan ekspresi sombong di wajahmu yang seolah menandakan bahwa kamu tahu segalanya?"


"Seperti yang kuduga."


"Apa?"


"Daripada menyebutnya tahu segalanya.  Kukira lebih pantas jika disebut 'dari hati ke hati'."


Wajah Komugi berubah menjadi kosong, seolah-olah dia baru saja mendengar lelucon yang sangat membosankan.  Dan ia hanya menghela napas berat sebagai balasannya.


Tidak perlu begitu kecewa, tahu.....


"Menganalisis kepribadian seseorang, seperti biasa, seleramu buruk."


"Apa?  Apa kau malu saat disebut sebagai orang baik?  Tidak perlu malu-malu.  Santai saja."


"Tapi, bisa saja kamu cuma basa-basi, bukan?"


"Tapi aku tidak pernah berbohong, iya kan?"


"Seharusnya aku tahu itu.  Aku tahu kalau Aki adalah orang yang tidak bisa membaca suasana....."


"Bukankah kau juga sama?"


"Aku tidak seperti Aki.  Aku bukannya tidak bisa membaca suasana, tapi aku memang tidak mau melakukannya."


"Itu sama, bukan?"


"Aku tidak ingin disama-samakan oleh pria paling jujur yang pernah ada."


"Aku tidak suka julukan itu......"


"Hei, kenapa?  Tapi wajahmu memerah, loh.  Kurasa itu julukan yang bagus, " Pria paling jujur yang pernah ada."  Ayo bersemangatlah, Truth Man!"


"Jangan mengolok-olokku!  Aku tidak suka kebohongan semacam itu......!"


Komugi jelas bisa membaca suasana.


Sebenarnya, aku sangat menyadari bahwa Komugi dan aku berbeda.


Dia benar, aku mungkin tidak bisa membaca suasana.  Tapi alasan mengapa aku menjadi seperti ini jelas karena dirinya.


Itu terjadi ketika aku duduk di kelas 3.


Hari itu, ketika aku dicegat oleh sekelompok orang saat mau pulang sekolah.


--- "Aki-kun tidak piket!  Aku tidak berpikir itu hal yang baik!  Cepat minta maaf!"


Lalu sebuah paduan suara bersuarakan, "Maaf!  Maaf!  Maaf!" mengikutinya.


Kala itu, aku bertengkar dengan pentolan anak perempuan di kelasku, dan aku dipaksa untuk menjawab semua omong kosong yang tidak pernah kulakukan.


Wali kelas dan teman-temanku, semuanya berada di pihak anak itu, dan hanya aku yang ditinggalkan sendirian.


Kemudian...


--- "Aki sudah piket dengan benar."


Meskipun tidak berteriak, namun suaranya terdengar sangat jelas.


Itu adalah Komugi yang mengangkat tangannya dan bersaksi bahwa aku tidak bersalah dengan ekspresi kosong di wajahnya.


Dia mencempelungkan diri untuk bersaksi pada kebenaran dengan mengabaikan tekanan teman sekelasnya.


Mungkin ini terdengar seperti lelucon, tapi aku melihat bahwa Komugi sangat bersinar di sana.  Dia sangat cerah dan berkilau.


Pada saat itu, dia hanya melakukan apa yang ingin dia lakukan.


Tapi bagiku, itu adalah peristiwa spesial yang tidak akan pernah aku lupakan.


Aku yakin semua orang hanya bisa melihat sisi luarnya Komugi.  Mereka mungkin menganggapnya sebagai gadis yang dingin, polos, kaku serta tidak tertarik pada orang lain.


Tapi aku tahu....


Aku tahu bahwa jati diri Komugi yang sebenarnya adalah orang yang memiliki rasa keadilan yang menggebu-gebu di dalam dirinya, di mana dia tidak akan tahan saat melihat orang lain terluka, dan juga bahwa dia adalah orang yang sangat tulus yang akan membela apa pun yang menurutnya benar dan adil, bahkan jika itu bisa merugikan dirinya sendiri.


Sebagai anak yang mudah terpengaruh, aku terbawa oleh tindakan Komugi dan mengaguminya.


Aku membenci kebohongan dan hanya percaya bahwa kebenaranlah satu-satunya hal yang harus kukejar.


Jadi sampai titik tertentu, aku tidak pernah berbohong.  Aku tidak pernah diam dan membiarkan segalanya berlalu begitu saja, dan aku benar-benar serius tentang segalanya.


Misalnya, kalau tidak salah ingat, itu terjadi sekitar waktu ketika aku berada di tahun terakhir SD.


Saat itu, ada banyak anak perempuan yang bermain di kolam renang, lalu aku berkata kepada anak laki-laki, "Jangan lewat sini, mereka sedang haid!"


Aku membuat komentar seperti itu dengan suara keras dan tidak peka, yang menyebabkan orang-orang di sekitarku terkejut.


........Kupikir aku sangat jahat saat itu.


Aku juga telah membuat sejumlah kesalahan yang layak untuk ditertawakan beberapa tahun setelahnya.


Julukan yang mereka berikan kepadaku karena semua itu adalah "Truth Man."


Tentu saja, itu tidak dimaksudkan untuk menghargaiku, melainkan untuk lelucon.


Itu adalah sejarah kelam yang bahkan tidak ingin kuingat lagi.


"Tapi Aki, kamu telah sedikit bisa membaca suasana......"


"Eh?"


"Gadis yang memberikanmu file ini barusan, dia cuma pura-pura sakit, bukan?  Jika itu Aki yang dulu, kamu mungkin akan melabraknya karena telah berbohong."


"Ya, itu benar."


"Tapi tunggu ... jika dia memang ingin menyerahkannya kepada orang lain, mengapa ia tidak bilang, "Tolong bantu urus mereka, yah?" atau "Aku ada janji!"  Kenapa dia tidak membuat alasan seperti itu saja?"


"Ada alasan mengapa ia berpura-pura sakit."


"Apa itu?"


"Karena dia ingin kencan dengan pacarnya."


".....Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?"


"Pada akhir periode kelima, dia mengeluarkan curling iron dan mengeriting rambutnya dengan longgar.  Dia juga telah menulis ulang eyeliner di bawah matanya yang gelap, yang biasanya tidak ia pedulikan.  Saat jeda kelas, dia juga berbicara di telepon dengan seseorang yang mungkin adalah pacarnya."


"......"


Komugi mundur beberapa langkah dalam diam.


"Jangan terlalu dipikirkan."


"Tunggu, kamu memperhatikan makeup orang lain sampai sebegitunya.....?"


"Mungkin karena aku benci berbohong, jadi kemampuanku untuk mengenali kebohongan sedikit lebih berkembang daripada yang lain "


"Itu tidak menutupi fakta bahwa kamu sedikit menyeramkan, tahu?"


"Wow, kau serius mengatakannya?!  Tidakkah kau tahu?  Kebenaran adalah keadilan!  Meski terkadang itu menyakitkan!"


".....Jangan mengatakan itu dengan cara seolah itu adalah penemuan abad ini."


Komugi menatapku.


"Pada akhirnya, kamu tetap tahu kalau dia berbohong.  Kupikir kamu telah belajar membaca suasana sedikit lebih baik, tetapi aku salah.  Maaf karena telah mengharapkan hal-hal seperti itu dari Aki....."


"Permintaan maafmu itu menyakitiku!"


"Apakah kamu masih kesulitan dalam bermain kartu?"


"Hentikan, jangan mengungkit masa laluku ketika aku masih bermain kartu dengan menyatakan empat walaupun sebenarnya delapan!"


"Lagi pula, kamu payah dalam permainan itu......"


Hubungan teman masa kecil itu rumit karena mereka tahu banyak tentangku.


Yah, karena aku juga tahu banyak tentang Komugi, jadi kurasa kita impas.


Namun meski begitu, jika dibandingkan denganku, dia jauh lebih baik dariku.


"Tapi, aku sudah berubah.  Aku sudah sedikit lebih dewasa sekarang."


"Hee, masa?"


"Aku telah tumbuh menjadi orang dewasa yang penuh tipu daya."


"Aku tidak berpikir kalau kamu sudah dewasa jika kamu masih menggunakan kata-kata seperti itu......."


"Bwahaha!  .......Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.  Tapi menurutku kau benar."


Komugi menatapku ketika tawaku meledak tanpa sengaja.


"Aku selalu dibuat bingung dengan kata-kata yang kamu buat.  Itu tidak pernah berubah sejak dulu.  .....Aku penasaran bagaimana seseorang bisa berubah begitu banyak hanya dalam dua tahun."


Penyebutan Komugi yang begitu santai terhadap kata dua tahun membuatku terkejut.


"Kau tahu, aku tidak tahu kalau kau juga masuk ke sekolah ini.  Aku sangat terkejut saat mengetahui bahwa kita bersekolah di sekolah yang sama lagi."


"Itu kalimatku.  Kamu bahkan sudah mengatakan itu tahun lalu."


"Aku tidak menyangka kalau aku sudah mengatakannya berulang-ulang."


"Kamu terdengar seperti pamanku.  Dia selalu menceritakan kisah yang sama berulang kali."


"Hei, seenaknya saja kau menyebut pemuda dengan masa depan yang cerah ini dengan kata paman."


"Cara bicaramu juga seperti pamanku......"


Pada tahun pertama, kami berada di kelas yang berbeda.  Kami hanya saling berpapasan di lorong dan berbicara sedikit, dan kami tidak terlibat lebih jauh.


Sejujurnya, karena satu atau lain alasan, aku sengaja menjaga jarak darinya.


Jadi, sudah cukup lama sejak terakhir kali kami memiliki obrolan panjang seperti ini.


"Aku terkejut bahwa kita berada di kelas yang sama tahun ini."


"Benarkah?  Tapi kamu sama sekali tidak menunjukkannya di wajahmu."


"Kau juga."


"......Aku memang tidak terkejut.  Saat mengetahuinya, aku cuma berpikir, "Oh, sekelas, yah......."


"Bisakah kau hentikan ketidakpedulianmu itu terhadapku?"


"Jika kamu menyebutku tidak peduli, maka wali kelas kita juga tidak peduli padamu."


"Kenapa?"


"Itu karena dia menyuruh petugas piket harian untuk membawa semua file ini ke ruang klub surat kabar.  Kenapa dia tidak langsung tunjuk saja ketua klubnya, yaitu Aki, untuk melakukannya dari awal?"


"Ini baru pertengahan April, kau seharusnya belum hafal tentang kegiatan klub teman sekelasmu."


Karena terkejut, aku pun bertanya padanya.


"Kani, bagaimana kau bisa tahu kalau aku adalah ketua klub surat kabar?"


Meskipun kami tidak banyak bicara akhir-akhir ini, tapi kami tetap teman masa kecil.  Jadi, kau tidak benar-benar tidak peduli padaku, yah?


Namun, ekspresi Komugi berubah menjadi sedikit lebih gelap.....


"Kani?"


".....Kamu sendiri yang mengatakannya minggu lalu."


"Kapan?"


"Saat pengenalan kelas."


"Ah, aku mengerti."


Rupanya, aku terlalu percaya diri saat berpikir bahwa Komugi memperhatikanku.


Tidak, bukan itu masalahnya.


"Tunggu dulu.  Kani, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"


Segera setelah aku mengingat topik awalnya, aku pun langsung menanyainya lagi.


Namun, untuk beberapa alasan, dia menjadi pendiam dan memiliki ekspresi yang tak terlukiskan di wajahnya.


Apakah itu benar-benar sulit untuk dibicarakan?  Yah, mungkin saja.


Hubungan kami agak rumit belakangan ini, dan meskipun kami berada di kelas yang sama, tapi kami belum benar-benar mencoba untuk menutup jarak yang telah terbuka di antara kami.


Hubungan kami sangat lemah hingga teman sekelas kami bahkan tidak ada yang tahu bahwa kami adalah teman masa kecil.


Namun hari ini, dia berinisiatif untuk membantuku.


Kurasa sesuatu pasti telah terjadi padanya.


"Aki, kamu tahu..."


Setelah beberapa saat terdiam, seolah telah mengambil keputusan, dia membuka mulutnya dan mulai melangkahkan kakinya lagi ke ruang klub pada saat yang bersamaan.


Aku hanya bisa tersenyum getir melihatnya.


"Maaf, tapi bisakah kita membicarakannya setelah selesai mengirimkan file ini?"


".........Benar juga.  Itu mungkin bukan sesuatu yang bisa kau bicarakan dengan santai."


Komugi mengangguk dalam-dalam atas perkataanku.