Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidak Ada Yang Percaya Padaku [Chapter 57]

No One Believed Me. If You Say You Believe Me Now, It’s Too Late Bahasa Indonesia




Chapter 57: Forest School Di Masa Lalu


Ini terjadi di masa lalu.


Itu terjadi saat musim panas tahun kelas 8.  Setelah insiden dengan Saito-san, Kisaragi, dan Nanako-san, aku menghabiskan hari-hari di sekolah sendirian.


Aku tidak ingin tinggal di rumah dengan adik dan ibu tiriku, jadi aku pergi ke sekolah di pagi hari dan belajar di perpustakaan atau membaca novel.  Hal yang sama juga berlaku saat sepulang sekolah.  Setelah menghabiskan beberapa waktu di perpustakaan, dia pulang.

[TL: Dia di sini maksudnya si Saito.]


Saito-san belum datang ke perpustakaan sejak kejadian itu.  Untungnya, kami semua berada di kelas yang berbeda.


Aku mencoba untuk tidak memikirkan tentang pandangan orang terhadapku.  Setiap kali aku sendirian, aku merasa bahwa seolah-olah semua orang sedang menertawakanku.


Setiap kali seseorang membicarakanku di belakangku, itu membuatku lelah.


Aku hanya ingin orang-orang meninggalkanku sendirian.  Karena jika mereka melakukan itu, hatiku tidak akan terluka.


Homeroom sebelum liburan musim panas.


Wali kelasku di SMP pasti selalu bersenang-senang saat masih sekolah.


Dia berpikir bahwa semua murid bisa bergaul satu sama lain.


“Pilih kelompok kalian sesuka kalian!  Kalian dapat sekelompom dengan orang-orang yang kalian sukai!  Hahaha, forest school bukan hanya sekedar jalan-jalan!  Nikmatilah masa muda kalian!"


Memilih kelompok untuk forest school.  Setiap orang membuat kelompok mereka masing-masing, membicarakan dan juga memutuskan apa rencana mereka nantinya.


Aku tidak punya pilihan lain selain bergabung dengan salah satu kelompok.


Teman sekelasku menuliskan nama mereka sendiri di papan tulis.  Guru yang melihat papan tulis mengeluarkan suara ragu-ragu.


"Hmm?  Ada yang belum punya kelompok, kan?  Shinjo, kamu perlu berbicara dengan temanmu dan bergabung dengan kelompok, tahu? ”


Itu membuatku bergeming.


Aku tidak menyangka namaku akan disebut di sini.


Guru seharusnya tahu bahwa aku selalu sendirian dan tidak punya teman.


Aku tidak punya pilihan lain selain bangun.


Aku berpura-pura berpikir sambil melihat papan tulis dengan sepotong kapur di tanganku.


Aku bisa mendengar teman sekelasku mencibirku.


Waktu yang kuhabiskan untuk berdiri di depan papan tulis tanpa suara terasa sangat kosong.


Karena aku tidak punya teman.  Dan aku tidak ingin punya teman.


"Tidak, aku tidak suka orang itu."


"Tidak, tidak, kelompokku penuh."


"Kelompom kami tidak membutuhkan anak laki-laki lagi."


"Huh, kelompok kami tidak memerlukan anak laki-laki."


“Tunggu, Shinjo, hmm, maafkan aku”


"Kasihan."


Kata-kata tanpa emosi.  Kata-kata yang merendahkan orang lain.  Kata-kata yang lapang.


Kupikir tidak akan ada orang yang akan mempercayaiku setelah insiden saat SD.  Tapi sekali lagi, seseorang membuat kesalahan yang sama.  Aku kesepian, karena itulah aku mencoba untuk percaya pada orang lain.


Harapanku terbang meningkat namun berakhir dikhianati.


Kuharap aku tidak akan pernah bertemu dengan Saito-san di perpustakaan.


Seharusnya aku langsung menolak pengakuan palsu Kisaragi.


Seharusnya aku tidak jatuh cinta pada keceriaan Nanako.


Aku tahu, itu semua adalah salahku.  Jadi, aku tidak bisa menyalahkan orang lain.


Dan, tidak peduli seberapa banyak orang yang mengolok-olokku, aku hanya harus berpura-pura tidak merasakan apa-apa.


Pada hari forest school diadakan, aku menuju ke bus sendirian.  Itu adalah dua jam perjalanan dari sekolah ke gunung di Saitama.


Ada banyak dorongan dan dorongan yang terjadi, tetapi pada akhirnya…


“Hei, kenapa kita tidak membuatnya menjadi patsy?”

[TL: Saya tidak tahu patsy itu apa.]


Aku dimasukkan ke kelompok ini oleh mereka.


Acara sekolah benar-benar merepotkan.  Saat kau dimasukkan ke dalam suatu kelompok, maka kau akan diingatkan tentang betapa asingnya dirimu di dalam kelas.


Sampai awal tahun keduaku, aku hanya seorang penyendiri.  Aku hanya orang buangan hingga awal tahun keduaku, saat aku mendengar orang-orang membicarakanku di belakangku.


Namun, karena tindakan wali kelas yang tidak perlu itu, ......, kebencian dari teman sekelas padaku menjadi semakin dalam.


Ketika aku berjalan menyusuri lorong, mereka akan menabrak bahuku dengan keras.  Sepatuku juga disembunyikan.  Seragam olahragaku dirobek.  Aku didorong dari tangga.  Buku pelajaranku disembunyikan.  Mejaku dicorat-coret.


Semuanya dilakukan sebagai 'lelucon'.


Tapi hanya itu saja.  Ini tidak seburuk ketika aku mendapat tuduhan palsu.


Ini tidak menakutkan seperti saat aku ditipu dan diancam oleh para Yankee.


Aku hanya perlu untuk tidak merasakan apapun.


Saat aku memikirkan hal ini, aku melihat bus kami berhenti di depan sekolah.


Ini masih pagi.  Aku tidak ingin datang ke sekolah ketika ada begitu banyak murid.  Meskipun aku tidak sedang diawasi, tapi aku tidak suka cara murid lain melihatku.


Aku menghela nafas dan mencoba menaiki busnya.


"Huh?  Shinjo-kun datang lebih awal, huh?  Tidak ada seorang pun di sini, kan?  Huh, apakah aku salah jam?"


Hana Hanazawa, salah satu gadis di kelompokku.


Gadis yang menertawakanku, yang membuang buku teksku ke tempat sampah.


Aku mengambil napas dalam-dalam.


"Shu, masih ada satu jam tersisa sampai waktu pertemuan."


Hanazawa menepuk pundakku.  Itu jauh lebih lemah daripada ketika aku dipukuli di kelas.


"Serius!  Tidak ada Ryuji atau Miki.  …… Yah baiklah, kamu pasti ingin naik bus sepagi mungkin!  Aku tidak tahu apa yang sedang kamu pikirkan karena kamu tidak banyak bicara.  Dan jika kamu melecehkanku, aku akan memukulmu.”


Insiden dengan Saito-san muncul di benakku.  Pikiranku menjadi gelap.


Itu bukan salahku ......, tapi meskipun aku memberi tahu semua orang kebenarannya, tidak akan ada yang mempercayaiku.


Setelah insiden itu dan insiden yang lainnya juga, aku tidak mempedulikannya lagi.


Aku hampir membenci diriku sendiri karena playing victim dan sedih sendiri.


Jadi aku tidak peduli tentang apa pun lagi.  Aku tidak layak untuk itu.


“Kamu tampak murung.  Itu sebabnya kamu kami pilih di kelas.  Ayo naik!  Kamu seharusnya mengenal teman sekelasmu sedikit lebih baik hari ini!”


Mau tak mau aku mengepalkan tinjuku semakin erat.


Sangat normal untuk berbicara dengan seseorang secara pribadi.  Namun, ketika kau berada di hadapan orang lain, kau malah mengatakan dan melakukan hal-hal yang tidak tampak seperti dirimu yang sebenarnya.


Aku tidak percaya siapa pun.  Aku tidak harus mempercayai siapa pun.


Aku hanya perlu membangun tembok.


"Kau benar.  Aku akan mencobanya."


"Huh?  Itu lucu, mengapa kamu berbicara menggunakan honorifik?  Aku hanya berbicara normal denganmu.  Terserahlah, kamu terlihat seperti b*jingan dan itu cocok untukmu.  Oh, dan kita akan menempati kursi belakang!  Kamu juga duduk di belakang."


"Kursiku seharusnya di depan.……”


“Jangan khawatirkan itu.”


Hanazawa mencoba meraih lenganku.  Aku tidak ingin disalahartikan sebagai orang mesum lagi.


Aku mundur selangkah dan menghindari tangan Hanazawa.


Wajah Hanazawa tampak sedih sesaat.  Mengapa kau terlihat seperti itu ketika kau membullyku?


Itu tidak menyakiti hatiku sama sekali.


“A-Ahahaha.  Kamu pasti merasa gugup ketika seorang gadis menyentuhmu!  Aku tidak peduli apa yang kamu katakan, mari kita pergi ke belakang.  Oh, kamu tidak berhak menolak atau aku akan memberi tahu semua orang nanti bahwa kamu melecehkanku.”


Aku bisa merasakan suhu tubuhku semakin merendah.


Aku harus membiarkannya berlalu.  Sambil berpura-pura tersenyum.


Aku mengangkat sudut mulutku sedikit.


"Kau benar.  Aku mengerti."


“Ya, ya, serius, wajahmu adalah satu-satunya hal yang tampak keren.  …… Oh, tidak! Bukan apa-apa!”


Aku menghindari mencari masalah dan pergi ke kursi belakang bus seperti yang didesak olehnya.


Ketika aku menghabiskan waktuku dengan mendengar ocehanHanazawa, semakin banyak murid mulai berdatangan.


Berbeda dengan saat di kelas, Hanazawa benar-benar terlihat seperti gadis yang normal.


Mereka membicarakan tentang kegiatan klub, masalah belajar, dan hal-hal normal khas anak sekolah lainnya.


"Yah, dia menjadi sangat tinggi di tahun kedua, nukan?  …Kamu tahu, kalau Ryuji…, oh!!  Miki!!  Sini!!  Uwa~ riasanmu cantik sekali!”


Dia adalah temannya Hanazawa, Miki Toranomon.  Dia adalah gadis sekolah yang tenang dan girly untuk anak seusianya.


"Selamat pagi.  Aku tidak tahu mengapa orang ini ada di sini, Hana-chan.  Dia benar-benar menyeramkan.”


"Ah……….d-dengar, kita berada di kelompom yang sama hari ini.  Itu sebabnya, kamu tahu, aku membiarkannya menghabiskan waktunya di sini.  Apa-apaan itu, Shinjo! Jangan beri kami tatapan menyeramkan itu!"


“Ah, aku mengerti.  Aku lupa jika kita berada di kelompok yang sama.  Ya, tapi dia menyeramkan, jadi dia seharusnya duduk di kursi depan.”


“A-Ahaha, dia benar-benar menyeramkan.  ...... Kamu harus menjauh dari pandangan kami.”


Hanazawa mendorong tubuhku dengan keras saat aku hendak berdiri.


Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh.


Seisi bus pun dikelilingi oleh pusaran tawa.


"Oh, apa?  Apakah Shinjo menjadi lemah fisik dan mau membuat kita semua tertawa?”


“Ryuji, selamat pagi.  Dia sedang berbicara dengan Hana-chan di kursi belakang.”


“Uwa, dasar kotor.”


"Hana, apa kau baik-baik saja?  Apa kau dilecehkan olehnya?”


“Oi oi, berhenti berpura-pura tidak bisa bangun.  Kau menghalangiku.  Aku menyuruhmu untuk pindah.”


“Ha-Haha, i-itu hanya sedikit dorongan, tapi dia bereaksi berlebihan….”


Punggungku sakit, kakiku sakit, dan bahuku juga sakit—-


Jadi aku bangun secara perlahan.


Tidak apa-apa, hatiku tidak merasakan apa-apa.  Ini adalah salahku karena terlalu dekat dengan Hanazawa.


Ini bukan salah siapa-siapa.  Ini salahku karena terlalu menonjol.


Aneh bagiku untuk berpikir seperti itu.


Sementara semua orang sedang tertawa, Hanazawa mendekatiku dan dengan ringan mendorong punggungku.


Dia berbisik padaku dari belakang.


“M-Maaf, aku tidak sengaja……”


Tidak apa-apa, semua kata-kata itu sudah pasti bohong.  Mengapa aku harus percaya pada perkataan dari seorang gadis yang membullyku?


Jika kau merasa bersalah, menjauhlah dari hidupku.  Bahkan jika aku bergaul dengan mereka, mereka tetap akan mengkhianatiku.


Itu sebabnya aku tidak mendengarkan kata-kata Hanazawa.


Aku ingin membaca sisa novel yang sedang kubaca, “Tetsuro The Bloody Brave".


Aku ingin membaca novel itu tanpa diganggu oleh siapa pun.


Aku tidak ingin mempercayai siapa pun.


Hanya ada kehampaan di dalam hatiku.