Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teman Masa Kecilku Sang Putri Salju [Chapter 11]

My Childhood Friend, Snow White, Doesn’t Realize Her Unrequited Love Bahasa Indonesia




Chapter 11: Kesialan Kuzuo Kuzuhara


Sehari setelah berbelanja dengan OSIS, aku harus bolos sekolah.


Yah, ada alasan untuk itu—


“Haah… Atchoo—!”


Aku terkena flu.


Ugh … ini menyebalkan…


Dalam retrospeksi, kemarin itu sangat kacau.  Awalnya aku baik-baik saja sampai waktu ketika aku berhasil menyingkirkan para berandalan yang mengganggu itu, tetapi setelahnya, semuanya menjadi terjun bebas.


Semalam, aku berjalan pulang ke apartemenku yang jelek, dan dengan cepat mengemasi barang-barangku, lalu langsung menuju ke tempat kerja malamku.


Dalam perjalanan ke tempat kerja, ketika aku berjalan di sepanjang Jalan Taifuku yang sibuk, aku mendengar teriakan keras di depanku.


"Minggir, woi!  Minggir!"


Aku melihat seorang pemuda sedang marah-marah dengan mata berlumpur, yang berlari ke arahku sambil menerobos kerumunan.  Dia memegangi dompet berwarna pink mencolok di tangannya.


Oh, apakah ini…


Segera setelah mengangkat alisku, teriakan bernada tinggi bergema di antara kerumunan.


“Jambret, jambret!  Siapa pun, tolong tangkap pria itu!”


Seorang wanita tua dan seorang polisi mencoba mengejar penjambret itu, sambil terengah-engah.


Aku tahu ini.  Ini adalah kasus penjambretan.


Beberapa saat setelah menganalisis situasinya, aku menukik ke bawah dan meregangkan kakiku tepat saat si penjambret itu melewatiku.


"Haa—!”


Penjambret itu tersandung kakiku dan jatuh ke tanah, dan melepaskan dompet curiannya karena shock dan rasa sakit.


"Oh, ugh… faklah…” dia melemparkan dompet itu ke sembarang arah dan berlari ke tempat lain.


Pertama Yankees, sekarang jambret?  Ada apa dengan situasi jalanan hari ini...?


Aku mengambil dompet merah muda itu, dan dalam sekejap, wanita tua dan petugas itu mendekatiku.


“Ah, penjambretnya menjatuhkannya tadi.” kataku sambil menyerahkan dompet itu kepada polisi.


Tidak mungkin aku memberitahunya bahwa akulah yang membuat pria itu tersandung.  Jika aku diinterogasi, maka aku pasti akan terlambat untuk shift malamku.


"Sekarang, aku permisi dulu."


Ketika aku hendak pergi ke tempat kerja paruh waktuku, wanita tua itu berdiri di depan jalanku sambil marah-marah.


"Kamu pikir kamu akan pergi kemana?!"


“Huh?”


Untuk sesaat, itu bahkan tidak terlintas dalam pikiranku.


"Kamu seratus tahun terlalu muda untuk bisa mencuri dompet dariku!"


"Tidak, itu bukan aku.  Jika kau berbicara tentang orang yang menjambret dompetmu, dia berari ke sana.”


"Kamu pembohong!  Aku bersumpah demi Tuhan, matamu itu berlumpur, jadi kamulah jambretnya!"


"Tunggu, tunggu, tunggu.  Memang benar mata penjambret itu berlumpur, tapi mataku jauh lebih buruk daripada matanya!”


Aku bertanya-tanya mengapa aku hampir menangis sekarang.  Mengapa aku sampai harus mengatakannya?  Sekarang aku jadi depresi…


"Hm … maaf merepotkanmu, tapi bisakah kau mengikutiku ke stasiun?”


“…Ugh, aku mengerti.”


Aku sudah menjadi tersangka lebih dari seratus kali karena mataku yang busuk ini.  Berdasarkan pengalaman pribadi, pilihan terbaik adalah mematuhi otoritas publik.


Jika kau tidak malu, maka pilihan terbaik adalah mengikuti arus dan tidak melawan.


Setelah itu, aku mengikutinya ke kantor polisi terdekat dan diinterogasi sebentar.  Untungnya, kasus ini dapat diselesaikan agak cepat.


Karena ada banyak saksi karena kejadiannya terjadi di Jalan Taifuku yang merupakan area bisnis, dan berkat kamera yang menangkap seluruh reka kejadian, aku pun dapat membuktikan bahwa aku tidak bersalah.


Polisi berterima kasih kepadaku karena telah mengambil dompet dari penjambret itu dan meminta maaf karena telah meragukanku.  Wanita tua itu, bagaimanapun juga, sudah pergi dari tadi...


Bagus, aku jadi sangat kesal sekarang...


Satu-satunya anugrah yang menyelamatkan setelah seluruh malapetaka ini adalah ketika aku menghubungi manajerku, dia berkata, “aku berduka atas masalah yang menimpamu.  Aku pasti akan melindungimu, jadi pulanglah dan istirahatlah”.


Ugh … aku sangat lelah dengan semua ini.


Kebosanan dan rasa pusing menyiksaku dalam perjalanan pulang, sementara hujan turun begitu deras hingga sepatuku jadi basah kuyup.


Dan akibat dari semua itu adalah demam … 38,2°C (TL: Sekitar 101°F)—Jumlah yang tepat untuk merasa lesu dan malas.


Ugh … rasanya seperti mau mati…


Saat aku duduk di tempat tidurku, menatap kosong ke dalam kehampaan, lalu pintu kamarku terbuka dan Yui menerobos masuk.


“Apakah kamu yakin kamu baik-baik saja, Onii-chan…?  Apa aku harus libur dulu dari sekolah?”


"Jangan khawatirkan aku … aku yakin kau pasti akan bersenang-senang di sekolah.  Apalagi, kau punya latih tanding melawan sekolah lain hari ini, kan?  Kau sudah menantikannya sejak kemarin, bukan?” kataku.


"…Hubungi aku jika kamu membutuhkan sesuatu, oke?  Aku akan langsung terbang ke rumah nanti, jadi jangan malu-mau tentang itu atau semacamnya, oke?”


"Ah, terima kasih.”


"Kalau begitu … aku berangkat dulu.”


"Hati-hati."


"Iya.”


Tak lama kemudian, aku bisa mendengar pintu depan rumah terbanting saat ditutup, diikuti oleh suara pintu yang terkunci.


Baiklah kalau begitu...


Setelah Yui meninggalkan rumah, aku menyeret tubuhku yang lesu ke kamar mandi.  Aku mencuci muka dan menggosok gigi.  Sementara aku melakukannya, aku memeriksa tenggorokanku yang bengkak di cermin.


Aaahh … semuanya merah.


Amandelku sangat merah dan bengkak sehingga mudah terlihat.  Demamnya mungkin berasal dari tenggorokanku.


Aku kemudian meletakkan handuk bersih, tisu, dan air di dekatku, dan menyelinap masuk ke dalam futon.


Mengambil dan mereboot ponsel murahku, aku memeriksa beberapa situs berita.


Ini … perasaan saat melupakan sesuatu … sudah lama aku tidak merasakannya.


Pikiranku yang berkabut ini tidak dapat menampung informasi apa pun.  Hal ini menyelipkan pikiranku layaknya air yang dialirkan ke saluran pembuangan.  Dengan demam setinggi ini, memori fotografisku tidak berfungsi dengan baik.


Aku hanya perlu tidur sampai senja…


Mematikan lampu, aku tenggelam dalam tidur nyenyakku.


Berapa banyak waktu yang telah berlalu sejak aku tidur?


“Nnn … ah…”


Perlahan aku terbangun saat rasa sakit yang tumpul menjalar di kepalaku.  Dengan kekaburan yang tiba-tiba ini, aku hampir tidak bisa melihat.  Ketidaknyamanan merembes ke seluruh tubuhku.


Ah … sial…


Aku berada di puncak demamku, dan rasa sakit itu membuatku merasa seolah-olah saat ini adalah saat tersulit dalam hidupku.


Aku lapar…


Melirik arlojiku, aku melihat waktu sekitar pukul 18:00.


Oh ya, aku belum makan apapun sejak pagi.


Di dalam lemari es ... apakah aku punya sesuatu di sana?


Saat aku meraba-raba pikiranku, aku bisa mendengar suara sesuatu yang bergetar.


Ah, dia sudah pulang…


Oh, tapi … kalau tidak salah, dia tidak bisa memasak sama sekali, bukan?


Ketukan di pintuku, diikuti dengan suara terbuka yang lembut.  Tak lama kemudian, orang itu masuk—


"—Kuzuhara-kun, kamu sudah bangun?  Bagaimana perasaanmu?"


“Shira … yuki?”


Orang itu adalah Tohka Shirayuki yang sedang mengenakan celemek.