Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teman Masa Kecilku Yang Terimut Di Dunia [Chapter 54]

Forever And Always, My Childhood Friend Is The Cutest Girl In The World Bahasa Indonesia




Chapter 54: Terima Kasih


Itu adalah Sabtu pertama dari semester baru sekolah dan hari ini adalah hari dimana aku berjanji akan bertemu Rin di rumahnya untuk makan masakan rumahnya. Aku menyelesaikan chapter terkini dari romance modern yang sedang kubaca di Syosetu dan sedang bersiap untuk pergi sampai...


"Anda memiliki satu pesan administrasi baru."


Saat aku membaca text yang muncul di mataku, jantungku lompat dari dadaku. Apa? Apa kesalahanku? Aku tidak punya alasan lain untuk meragukan itu. Tanpa mempedulikannya, aku dengan bergetar mengklik pesannya.


-----!?


"Kontak Untuk Publikasi Novel."


Dengan sentakan dan teriakan, seluruh tubuhku mengeras. Itu pertama kalinya aku merasakan ini. Aku merenungkan satu kalimat itu berkali-kali di kepalaku. Itu tidak terasa nyata sama sekali, terlepas dari kenyataan bahwa retinaku mentransfer info ini ke otakku. Itu terasa aku sedang berada dalam mimpi, tapi aku mengklik konten dari pesan itu untuk memastikannya dan kemudian aku melompat keluar dari rumahku.


Aku mulai berlari.


Ke rumah Rin, tentu saja.


Ini adalah rute tercepat yang kulalui di jalan yang bahkan jarang kulewati. Rumah dua lantai yang familiar itu muncul di pandanganku, dan aku menekan bel rumah itu secepatnya. Dengan dentang, pintu itu terbuka.


"Kamu datang terlalu cepat, Tohru-kun..."


Dari dalam, Rin keluar dan melihatku.


"A-Apa ada sesuatu yang terjadi?"


Aku bergeyat dengan kesenangan saat aku ditanyakan itu, jadi aku tidak bisa menjawab. Aku biasanya tidak berolahraga terlalu sering, jadi aku terengah-engah karena kehabisa tenaga. Jantungku berdetak sangat keras, itu terasa bisa meledak.


"N-Ngomong-ngomong, kamu bisa masuk ke dalam."


"T-Tunggu."


Meskipun aku sangat lelah, aku bisa meletakkan tanganku pada Rin untuk menunjukkannya.


"Itu datang..."


Aku harus melakukannya disini dan sekarang, secepat mungkin.


"Penerbit... menghubungiku... cerita teman masa kecilku... itu... akan menjadi sebuah cerita..."


Semua hal yang ingin kuberitahu pada Rin.


"----Ha."


Dengan kedua tangannya menutupi mulutnya, Rin kehilangan kata-kata. Matanya terbuka selebar-lebarnya, dia juga mungkin terkejut. Itu tidak terlalu lama untuk Rin mengerti arti dari kata-kataku. Beberapa waktu sebelumnya, aku sama sepertinya, melihat pesan itu.


"Itu sungguh... sebuah keajaiban."


Setelah akhirnya menarik napas, aku mengucapkan kata-kata waspada itu. Itu sungguh sebuah keajaiban. Mencoba menargetkan para pembaca sama sekali bukan tujuanku, aku sedang menulis ini hanya untuk kepuasanku sendiri. Karena itu, aku tidak mendapatkan banyak views ataupun bookmarks, aku sungguh percaya bahwa itu tidak cukup bagus.


"...Itu sama sekali bukan keajaiban."


Rin dengan lembut menyangkan pernyataanku saat dia melihat langusng pada mataku dan dengan wajahnya penuh dengan pengakuan dia berbicara lagi.


"Ceritamu bisa menyentuh hati seseorang. Itu yang terjadi, tidak lebih, tidak kurang.


Ahh... dia benar. Dengan berdebar, perasaan hangat turun ke dadaku.


"Aku menaruh semuanya pada cerita ini."


Mataku mulai terbakar dari seluruh kehangatan yang kurasakan.


"Itu sungguh terjadi..."


Itu sungguh, sungguh terjadi.


"Baguslah aku tidak menyerah..."


Satu demi satu, kenangan dari masa lalu mulai berdatangan di pikiranku. Sekelompok Hiragana mulai berkumpul, bahkan tidak lagi membangun sebuah cerita. Sedikit demi sedikit, sedikit dem sedikit, itu mulai terbentuk. Setelah waktu yang sangat, sangat lama, aku akhirnya mencapai tujuan yang selalu kudambakan. Itu benar-benar menyesakkan, mengisiku dengan penuh di dalam tubuhku.


"Tohru-kun."


Aku mendengar suara Rin.


"Aku tidak bisa menahannya... aku hanya..."


Sementara suaranya yang lembur, dia terkejut.


"A-Apa yang kamu bicarakan...?


Tangan Rin mulai menyentuk pipiki. Aku merasakan sensasi itu pada wajahku. Aku bisa merasakan kedua mataku, sumber dari semua emosiku, mulai meluap.


"Apakah tidak apa-apa... kalau aku menangis...?"


Seolah-olah dia bisa membaca isi hatiku, Rin menarik pelatuk terakhir.


"Boleh saja."


Dengan kata-kata itu, aku hancur. Penghalang yang menahanku akhirnya hancur. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Rin memelukku, saat air mata mulai keluar, tidak ada satupun yang berhenti. Aku mengubur wajahku pada leher Rin, saat aku melanjutkan menangis seperti bayi. Pikiran tentangku yang memalukan dan tidak keren bahkan tidak muncul. Tapi ini adalah pertama kalinya aku menangis di depan Rin."


Sebelumnya, aku tidak ingin dilihat saat menangis dan aku akan merasa bersalah karena membuat Rin sedih juga, jadi aku bisa mengubur emosiku. Saat aku melewati masa-masa sulit, aku bisa bertahan dengan alasanku.


Tapi kali ini, itu berbeda. Aku senang dan sangat puas, tidak ada satupun penyesalan di dalam diriku. Namun, aku sungguh percaya aku akan dihadiahi untuk ceritaku setiap hari selama lima tahun. Ditambah, cerita ini adalah yang aku taruh segenap hati dan jiwaku. Karena itu, aku hanya sangat sangat senang. Itulah kenapa aku tidak bisa menahan diriku lagi. Itulah kenapa aku menangis, Rin memberitahuku itu tidak apa-apa, bahwa aku bisa menangis. Pada akhirnya, aku tidak bisa menahannya lagi.


"Kamu melakukan yang terbaik... kamu selalu melakukan yang terbaik."


Suaranya yang lembut, dan baik. Dia membelai punggungku seolah-olah aku adalah bayi saat dia membuat komentar yang menenangkan. Kebaikannya hanya membuat tangisanku lebih banyak.


"Kamu sungguh... melakukan yang terbaik selama bertahun-tahun."


Air mataku terus berdatangan saat aku mendengar kata-kata hangat, simpatik itu. Satu setelah lainnya, aku dibanjiri dengan emosi. Aku merasakan kehangatan, apa ini? Tangisanku? Tubuh hangat Rin?


Kemampuan berpikirku semuanya hilang karena ledakan emosiku. Namun, bagian terkecil dari alasanku mulai muncul di dalam diriku. Semua yang terjadi, hasil jerih payahku, itu buka hanya kemenanganku. Aku bisa melihat hasil ini karena Rin.


Itu karena Rin yang membuatku ingin menjadi seorang author.


Jika bukan karena Rin, aku mungkin akan kehilangan minat saat kelas empat.


Itu karena Rin aku terus menulis.


Jika bukan karena Rin, aku akan berhenti mengupload cerita di Syosetu setelah sebulan.


Rin dan aku, kami bergabung di pinggul. Kapanpun aku kehilangan arah, dia akan membawa rasa ketenangan, kapanpun aku berlari ke depan, dia akan menegurku dan kapan pun aku hancur, dia akan ada disana untuk menghiburku dengan kata-kata yang baik. Dia selalu ada disana, mendukungku di setiap jalan. Dia selalu di sisiku, selamanya dan selalu, aku sangat bersyukur karenanya.


Terima kasih.


Terima kasih.


Terima kasih


Tidak peduli berapa kali aku mengatakannya, itu tidak akan cukup. Tapi sungguh...


"Te-terima kasih... banyak... lalu..."


Aku mencoba mengungkapkan terimah kasihku, tapi tidak ada satupun kata yang keluar, hanya air mata yang menyedihkan. Rin, dengan ekspresi senang di wajahnya, mengangguk beberapa kali. Dan lalu...


"Aku juga... aku sungguh, sungguh..."


Kami berdua punya kata yang sama untuk satu sama lain. Namun...


"Terima...kasih... ba...nyak..."


Kata-katanya berhenti disana, apa arena tangisanku atau karena ada alasan lain kenapa dia meluap dengan emosi? Dia menaruh tangannya di sekeliling punggungku saat dia mulai menangis juga. Dia mencoba menahan tangisannya, tapi di akhir itu terlalu banyak dan kami berdua mulai menangus seperti anak-anak. Ratapannya adalah hasil dari pelepasan semua energi dari menjaga ketenangan sepanjang waktu.


Berdiri di depan rumah tangga Asakura, kami berdua memeluk satu sama lain saat kami mulai menangis. Tangisan panjang kami akhirnya berakhir. Sebagai simbol sukacita telah memberkati kami berdua.


Kami berdua menangis sangat lama, sampai butuh beban besar pada tubuh kami, jadi kami berhenti dan menenangkan diri. Tentu saja, kami memisahkan diri, saat kami melihat wajah satu sama lain. Lalu kami berbicara.


"Wajahmu kacau."


"Punyamu juga."


Kami berdua mulai tertawa. Saat ait mata kami mulai hilang, kami mulai tertawa dari lubuk hati kami. Kami menyerahkan diri kami pada emosi saat kami mulai tertawa histeris.


"Pesonanya."


Itu tiba-tiba muncul di kepalaku, saat aku mengatakan itu saat aku tertawa.


"Kedua pemohonan kita terwujud."


"Ya, aku rasa kita tidak perlu memegang mereka lagi."


Tertawa senang, aku bisa melihat sisa air mata ada di matanya. Itu sungguh senyum yang imut. Bisa melihat senyum itu setelah usaha selama bertahun-tahun membuat ini sepadan. Lagipula Itu senyuman yang paling aku sukai. Aku memeluk Rin lagi. Aku tidak membiarkan emosiku menguasai diriku saat aku memperlakukannya dengan hati-hati, harta karun berhargaku. Rin memeluk kembali, saat tubuh kami terpaku erat satu sama lain.


Tidak ada lagi jarak diantara kami.


Saat kami memanjakan diri dalam hati masing-masing, kami melihat satu sama lain lagi. Melihat diriku dengan malu, Rin berbicara, seperti aku bisa mendengar musim semi dalam suaranya.


"Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita berpesta hari ini."


Aku yakin dibandingkan dengan masakan Rin yang lain yang dibuat untukku, pesta ini akan menjadi yang paling seru.