Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Si Cupu Rupanya Suhu [Vol 1 Chapter 5.3]

The Asocial Guy Who Gets Pushed Around Is Actually The Strongest Bahasa Indonesia




Chapter 5.3: Pria Asosial Yang Tak Bisa Dikalahkan


[POV Akira]


"Apakah ini yang benar-benar kau inginkan?"


Kataku dengan stun gun di tenggorokannya, dan tinjunya berkedut saat dia membeku dengan tongkat yang terangkat di udara.


"......Ya Tuhan, aku dalam masalah.  Maaf meremehkanmu, kukira kau hanya seorang nolep biasa.  .....Aku kalah."


Kuromatsu mengangkat tangannya.  Tongkat yang dia pegang jatuh ke lantai membuat suara gemerincing yang keras.


"Aku kalah.  .....Sekarang kau bebas melakukan apa pun yang kau inginkan dengannya......."


Kuromatsu mengangkat tangannya.


Itu adalah pose menyerah.


Tapi aku tidak bisa membaca gerakan Kuromatsu selanjutnya, jadi aku merenungkannya dengan taser yang siap di tangan.


(Inikah akhirnya?)


Aku mendengar suara ketua kelas, yang duduk di dekatku, terkesiap keras.


Tensinya pasti terlalu tinggi.  Aku bisa mendengarnya bernapas dengan berat.  Aku yakin kalau energi ketua kelas pasti telah terkuras dengan luar biasa hanya dengan menonton pertarungan antara aku dan Kuromatsu.


"Dengar, kurasa kita harus mengeluarkan ketua kelas dari sini secepat mungkin, bukan?  Dia sudah lama di sini dan dia terlihat sangat lelah."


Menanggapi kata-kata Kuromatsu, aku tiba-tiba mengalihkan pandanganku ke arah ketua kelas dan........


Pada saat itu, Kuromatsu bergerak.


Ia merunduk dan bergegas ke arah ketua kelas.


Itu sudah terlambat ketika aku menyadarinya.


Ketua kelas ditawan dari belakang oleh Kuromatsu.


Ketua kelas, yang dipegangi oleh Kuromatsu dengan tangan kirinya, berjuang untuk melepaskan diri dari tangannya sambil mengangkat suaranya sebagai bentuk protes.


Aku langsung mencoba untuk membantunya, tapi aku berhenti saat melihat pisau di tangan Kuromatsu.


"Jangan bergerak ...... apa kau tidak peduli pada apa yang terjadi pada ketua kelasmu yang berharga ini?"


Ketua kelas berhenti melawan ketika dia melihat pisau di tangan Kuromatsu.


Ketua kelas yang melihat pisau itu, tampak ketakutan, dan menatapku dengan penuh rasa takut.


Aku tahu dia memintaku untuk membantunya bahkan jika dia tidak mengatakannya.


"Ya, Tuhan, ini sangat keren!  Lihatlah!  Aku sampai merinding di sekujur tubuhku!  Aku berakting dengan mengatakan "Aku kalah." hanya untuk melihat wajah lengahmu!  Aku hampir muntah!  Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri dan ingin memotongnya menjadi beberapa bagian hanya karena mengatakan kalimat bodoh itu!"


Sejak awal, dia bertujuan untuk mengambil keuntungan dariku ketika aku mengalihkan perhatianku ke ketua kelas?


Tinjuku bergetar.


"Oh?  Apakah kau benar-benar berpikir bahwa kau telah menang dan melepaskan penjagaanmu?  Budak-kun ..... kau terlihat cukup menarik, bukan?  Itu benar.  Jika kau ingin menjadi teman bermainku, kau harus memiliki ekspresi seperti itu di wajahmu.  Ketika kau pertama kali datang ke sini, aku khawatir jika kau mungkin adalah robot atau cyborg karena kau terlihat seperti tidak memiliki emosi.  ......Tapi aku lega karena kau terlihat sangat manusiawi sekarang......."


Kuromatsu tertawa sambil mengarahkan pisaunya ke arah ketua kelas di hadapanku.


Emosi mengalir dari dasar perutku.


Itu adalah kemarahan yang begitu kuat hingga membakar tubuhku sendiri.  Darahku hampir mendidih.


"......Apakah ketua kelas sepenting itu bagimu?  Aku memiliki pemikiran yang menarik di pikiranku ketika aku melihat wajahmu.  Hei, aku akan memotongnya sekarang, dan kau hanya akan berdiri di sana dan menontonnya!  Aku ingin kau menjadi gila karena amarah!  Melupakan tentang jati dirimu!  Datang dan memukuliku dengan insting!  Mengutukku!  Membenciku!  Membenci seluruh dunia dan menghancurkannya!  Membunuhku!  Tidak lagi peduli pada hukum dan ketertiban!  Membuang segalanya!  Menjadi monster sepertiku!  Dan terbunuh olehku!!!"


Teriakan Kuromatsu bergema di gedung sekolah yang terlantar.


Tapi telingaku tidak mendengar apa yang dikatakan Kuromatsu.


Mataku hanya terarah pada ketua kelas yang telah ditawan oleh Kuromatsu.


Segera setelah kemarahan menyebar dalam tubuhku, sesuatu tersentak dalam diriku.



"--------Jangan sentuh ketua kelas dengan tangan kotormu."



"Huh?  Masalah buat---?"


Sebelum Kuromatsu bisa mengatakan sesuatu, aku langsung menutup jarak di antara kami.  Aku mencengkeram bilah pisau Kuromatsu dengan tangan kiriku, mematahkannya, dan meninju wajahnya dengan tangan kananku.



Tinjuku, yang dipenuhi dengan kekuatan amarah, menghantam wajah Kuromatsu hingga terdengar bunyi hantaman keras.  Kekuatan pukulan itu membuatnya terbang ke belakang, melepas ketua kelas dari tangannya dan menabrak dinding.  Dia kemudian terjatuh ke depan sebagai akibat dari tabrakan tersebut.


Melihat ketua kelas terhuyung-huyung karena benturan, aku meraih lengannya dan menariknya ke arahku, dan momentum itu membuatnya masuk ke dadaku.


"Ketua kelas, apakah kau baik-baik saja?"


Ketua kelas mendongak dan melihatku.


"Ah, y-ya......"


Dia tampak bingung, seolah-olah dia tidak tahu apa yang baru saja terjadi.


Tapi tidak apa-apa.  Sepertinya dia tidak terluka.


"Terima kasih Tuhan......"


Tanpa sadar, aku sudah memeluknya dalam pelukanku.


Aku terlalu sibuk memikirkan tentang kemungkinan bahwa aku telah membuat orang yang baik ini terluka.


Aku telah diingatkan akan hal ini sejak mendengar bahwa ketua kelas telah diculik.


Aku tidak ingin kehilangannya.


Aku tidak ingin menyakitinya.


Aku ingin melindunginya.


Aku hanya ingin dia tetap dekat denganku dan tetap tersenyum.......


Aku akhirnya mengerti emosi apa yang dimaksud oleh pikiranku ini.


(Aku menyukai ketua kelas, Shizuka-san.)


Aku tidak peduli dengan orang lain, dan aku juga tidak peduli jika orang lain menghindariku, tetapi ketua kelas telah membangkitkan emosiku.  Demi menyelamatkannya, aku bahkan rela berubah menjadi ogre atau mungkin iblis.  Itulah yang kupikir.


"Tunggu di sini sebentar."


Ketika aku melepaskannya, dia menatapku dengan cemas.


Aku memberinya anggukan untuk meyakinkannya sebelum berjalan ke arah Kuromatsu yang berbaring telentang dan terengah-engah, seolah-olah dia menderita gegar otak.


Dia sepertinya tidak bisa menggerakkan tubuhnya sesuai keinginannya, dan hanya ujung jarinya yang gemetar.


"Kau kalah, Kuromatsu......."


Menanggapi kata "kalah." Kuromatsu mendongak dengan terkejut.  Matanya memerah dan mengeluarkan hawa haus darah.


Pada saat ini, semangat juang Kuromatsu masih belum hilang.


"Persetan ...... aku belum kalah ......... aku tidak akan kalah ......... aku tidak mungkin kalah dari orang lain ....... aku tidak boleh kalah dari antek Yoritori!"


Kuromatsu masih berusaha bangkit dan mencoba memukulku.


Tapi, aku mengepalkan tinjuku dan membantingnya ke lantai sebelum Kuromatsu bisa bangkit.


"Kau kalah.  Kau kalah, kau kalah!"


“Aku tidak kalah!  Aku masih hidup, itu artinya aku belum kalah!  Bunuh aku supaya aku hidup di nerakamu!  Aku akan hidup selamanya di sana!  Dan itu artinya, aku tidak akan pernah kalah!!"


Kuromatsu melempar potongan beton dan batu yang berserakan ke arahku.


Aku menghindari potongan beton yang dilemparkan ke arahku, menangkap batu seukuran kepalan tangan, dan menimpuknya ke dinding tepat di sebelah wajah Kuromatsu.


Dinding terhantam dengan bunyi gedebuk, dan beberapa retakan muncul di sekitarnya.


Kuromatsu tidak bergerak.  Dia menatapku dengan ekspresi kosong tanpa emosi.


"Kenapa kau tidak memukulku?"


Tanya Kuromatsu.


"Kenapa kau tidak membunuhku?  Kau membenciku, bukan?  Kau pasti ingin memukulku begitu keras hingga wajahku kehilangan bentuk aslinya, bukan?"


Memekik.  Batu di tanganku retak.


"Iya kah?  Jangan bercanda.  Dia adalah orang paling berharga bagiku, orang yang paling ingin kulindungi melebihi siapa pun.  Maka dari itu aku ingin membuatmu menderita lebih dari di neraka---"


"Kalau begitu, bunuh aku!"


"---Itu sebabnya aku tidak akan membunuhmu.  Kau ingin merasa seperti kau menang dengan mendapatkan keinginanmu pada menit terakhir, tapi itu tidak ada gunanya.  Aku tidak akan mengabulkannya.  Kau tidak akan mati.  Kau harus hidup dengan fakta bahwa kau telah dikalahkan olehku selama sisa hidupmu."


"Aku tidak kalah....."


"Kau kalah."


"Aku tidak bisa kalah darimu!"


"Kau lebih lemah dariku."


"Diam!"


Kuromatsu berteriak.


Dia menarikku seolah dia tidak peduli apa-apa lagi.


Namun sebelum dia bisa meraihku, aku meraih wajahnya.


Lalu, aku membantingnya ke dinding di belakangnya.


"Gahhhh."


Kuromatsu terduduk di lantai.  Matanya tidak lagi fokus, ekspresinya kosong.


Bahkan dalam keadaan seperti itu, Kuromatsu masih mengulurkan tangannya yang gemetar untuk meraihku.


"A........ku........be........lum......ka......lah....."


Apakah dia masih berusaha mengatakannya dengan suara serak seperti itu?


Aku berdiri di depan Kuromatsu dan berkata.


"Kau orang yang tercela, bukan?  Bahkan jika kau tidak mengakui kekalahanmu, fakta bahwa kau telah kalah akan segera menyebar ke Anakuma yang lain, dan semua yankee di sekitar sini akan mengetahuinya.  Kuromatsu Genji kalah dari budak yang dibully oleh para yankee Yoritori."


Mata Kuromatsu bergerak entah ke mana, dan akhirnya hanya bagian putih matanya yang tersisa.


Tanpa mengedipkan mata, dia akhirnya ..... berhenti bergerak.


Setelah memastikan bahwa Kuromatsu pingsan, aku menoleh ke yankee lain di sudut kelas.


Aku kemudian bertanya kepada seorang yankee yang berdiri diam dengan wajah membiru.


"Bagaimana denganmu?"


Yankee itu menggelengkan kepalanya.


Sekarang setelah Kuromatsu terkapar, dia seharusnya tidak punya lagi alasan untuk bertarung, iya kan?


Aku memejamkan mata dan menarik napas lega.


Setelah menenangkan diri sebentar, aku melangkah menuju ketua kelas


"Aku akan memotong talinya sekarang."


"Oh, terima kasih......."


Aku melangkah di belakangnya dan menekan bilah pisauku yang patah ke tali yang mengikatnya.


Aku memotong talinya dengan hati-hati agar tidak memotong tangannya, dan tali yang putus terjatuh ke lantai.


Tangan ketua kelas akhirnya bebas, dan dia menggerakkan tangannya dengan canggung.  Dia melihat pergelangan tangannya di depan dadanya.


Namun, ada tanda lecet merah bekas tali yang mengikatnya.


"Maaf......."


Melihat luka yang menyakitkan itu, aku merasa bahwa aku harus meminta maaf padanya.


Ketua kelas dengan lembut menggosok lukanya sendiri dan tertawa kecil.


"Tidak apa-apa, Usui-kun.  Aku baik-baik saja.  Ini akan sembuh dalam waktu singkat."


Ketika ketua kelas mengatakannya dengan lembut kepadaku, aku menyadari bahwa dialah yang terlihat lebih khawatir.


"Yang lebih penting lagi, Usui-kun!  Tanganmu!"


"Eh?"


Ketua kelas mengambil saputangan dari sakunya dan melilitkannya di tangan kiriku.


Saputangan itu langsung ternoda merah.  Aku terlalu fokus sehingga aku lupa bahwa aku telah memaksa mengambil pisau dan mematahkannya.


"Maaf ...... terima kasih ......"


Ketua kelas melilitkan tangan kiriku dengan saputangan dengan kedua tangannya seolah-olah untuk merawatnya.


Ekspresi wajahnya membuat hatiku sakit.


Emosi yang berkecamuk di perutku untuk mengalahkan Kuromatsu menghilang, dan kepala serta hatiku menjadi tenang.


"Tidak apa-apa.  Jangan khawatir.  Kalau begitu, ayo pergi......"


Menggunakan tangan kananku, yang tidak terbungkus saputangan, aku dengan lembut mengambil tangan ketua kelas.


"Ya..."


Ketua kelas meremas tanganku kembali.


(Ini masih belum selesai......)


Ini bukan hanya soal mengalahkan Kuromatsu dan menyelamatkan ketua kelas.  Tapi ada pekerjaan besar yang menunggu orang dewasa untuk mengurus Kuromatsu dan yang lainnya.


Ketua kelas mungkin menyadari hal ini juga, tetapi ekspresinya tidak menggambarkannya.


Untuk meyakinkannya, aku memberi sedikit tekanan pada tangannya.


Senja semakin dingin, tetapi hanya tempat di mana tangan kami saling bersentuhanlah yang terasa hangat dan lembut.