Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aku Tahu Bahwa Sang Saint Jauh Lebih Mulia Saat Sepulang Sekolah [Vol 3 Chapter 3]

I Know That After School, The Saint is More Than Just Noble Bahasa Indonesia




Chapter 3: Lautan Dan Saint Berbaju Renang


Sudah lewat jam 9:00 malam.


Area pusat kota masih ramai di malam hari, dan beberapa siswa terlihat di sana-sini.


“…Masih belum sampai.”


Meskipun waktu pertemuannya telah berlalu, Seira dan Tsubaki masih belum muncul juga.


Yamato sangat bersemangat hingga dia tiba 20 menit sebelum waktu pertemuan, tetapi berkat ini, rasa semangatnya mulai mereda.


Setelah sekitar 20 menit berlalu, dia pun melihat mereka berlari ke arahnya dari kejauhan.


Seira mengenakan gaun one-piece biru panjang dan Tsubaki mengenakan gaun one-piece putih panjang dengan warna berbeda, sehingga mereka mudah dikenali bahkan dari kejauhan sekalipun.  Melihat rambut keduanya dikepang dan ditata dengan hati-hati, mereka mungkin memerlukan waktu untuk bersiap-siap.


"Jadi akhirnya kalian sampai juga.  Jika kalian akan terlambat, setidaknya kan kalian bisa menelepon—Ap!?”


Sesaat setelah mereka bergabung, Seira meraih tangan Yamato, dan entah karena alasan apa, mereka mulai berlari.


Yamato, yang tidak sepenuhnya memahami situasi, pun langsung menoleh dan menebak-nebak.


"Mungkinkah ada seseorang mengejar kita?"


"Hmm?  Bicara apa kamu?"


Seira menyangkalnya dengan acuh tak acuh seraya berlari.  Memang kesalahan Yamato karena mengatakannya setengah bercanda, tapi meski begitu, itu tadi adalah respon yang sangat dingin.


"Lalu, kenapa kita berlari?”


"Karena kita tidak akan berhasil sampai ke kereta?"


"Kita mencoba mengejar kereta!?”


"Kereta terakhirnya sudah berangkat!"


Tsubaki, yang tidak tahan melihatnya, pun menyela.


Ternyata, mereka tidak ingin ke karaoke di depan stasiun, tapi ke tempat lain.


Namun, Yamato pikir ini masih terlalu dini untuk keretanya menjadi kereta terakhir.


"Kereta terakhir?  Ini baru jam 9.30 malam.  Bukannya itu waktu yang salah?  Kita mau pergi ke mana sih?”


"Jangan tanya.”


"Ke laut—Senpai, kamu tidak memberi tahu Kuraki-san soal ini?”


"Ah, kurasa dia sudah tahu.  Aku pikir akan lebih mengejutkan jika aku tidak memberitahu Yamato."


Keduanya sama sekali tidak mengerti satu sama lain.


Malah, pertama-tama.


"Laut!? Sekarang!?"


Ketika Yamato, yang terkejut, berteriak keras, Tsubaki tersenyum kecut.


"Seira-senpai tiba-tiba ingin pergi ke sana... kukira Kuraki-san sudah diberitahu."


"Tidak, tidak, aku tidak pernah mendengar soal ini... Shirase memang terkadang suka menyimpan rahasia untuk beberapa alasan."


Mereka tentu saja sudah pernah membicarakan soal betapa inginnya mereka pergi ke pantai untuk liburan musim panas, tapi ini kan terlalu mendadak.


Sementara itu, mereka tiba di peron stasiun dan melewati gerbang tiket.


Mereka menaiki tangga dan berhasil naik kereta.


Kereta cukup ramai saat ini, tapi hanya ada tiga kursi yang tersedia, jadi mereka langsung duduk dalam sebaris. Mereka buru-buru duduk sehingga Yamato berakhir duduk di tengah.


"...Wah, kita berhasil tepat waktu."


Seira menghela napas lega.


"Jadi, bisakah kau jelaskan padaku kita akan pergi ke laut yang mana?"


"Ah, Yamato, kau marah padaku?"


"...Tidak, aku tidak marah padamu."


Sebaliknya, Yamato merasa bersemangat sekarang.  Rasa senang yang sempat hilang seketika kembali lagi.


"Aku senang.  -Kurasa akan memakan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke sana dengan kereta api."


"Itu waktu yang cukup lama, makanya ini kereta yang terakhir.  Tapi jika kamu hanya ingin pergi ke pantai, kamu bisa memilih yang lebih dekat dari rumah saja kan."


"Itu, yah, benar juga sih."


Seira memotong kata-katanya dan membuang muka dengan gusar.


Yamato menatap Tsubaki dengan maksud ingin menanyakan sisa ceritanya, dan Tsubaki pun tersenyum dan membuka mulutnya.


"Tempat yang akan kita tuju adalah pantai pribadi milik keluarga Shirase.  Tapi aku tidak akan keberatan kok seandainya kita pergi ke tempat yang lebih dekat."


"O-oh begitu..."


Laut ya laut, tapi Yamato tidak pernah mengira mereka akan pergi pantai pribadi... Orang kaya memang seram.


"Tapi aku tidak membawa baju renangku."


"Ah, begitu.  Yah, kamu bisa membelinya di sana, kan.  Biar aku yang bayar."


"Tidak usah, aku akan membelinya sendiri saja... Shirase dan Tsubaki membawa baju renang sendiri, kan?"


"Aku meminjam satu dari Senpai."


Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, jadi Yamato sudah mulai tenang untuk saat ini.


Namun selain itu, Yamato memiliki hal lain dalam pikirannya.


"Tapi kenapa harus jam segini? Tidak bisakah kamu menunggu sampai besok saja?"


Saat Tsubaki hendak memberitahunya, Seira dengan cepat menutup mulutnya.  Namun, untuk melakukannya, Seira mencondongkan tubuh ke depan melewati Yamato, dan jantung Yamato pun berdebar kencang saat Seira berada di depannya.


Satu-satunya alasan mereka bertindak sejauh itu adalah karena mereka tidak ingin hal itu diketahui.


Yamato memutuskan untuk menahan diri dari membahas masalah ini lebih jauh, karena rahasia Seira itu hanya akan "mengejutkan" Yamato dan tidak terlalu merepotkannya. Lebih dari itu, Yamato merasa dia akan lebih menikmati ini.


"Aku mengerti, aku tidak akan bertanya lagi.  Jadi tolong kembalilah ke tempat dudukmu untuk sekarang."


Yamato merasa lega ketika Seira kembali ke tempat duduknya seperti yang diperintahkan.


"Tapi, mintalah pada Kosaka-san untuk menunjukkan jalannya.  Dia sepertinya tahu di mana tempatnya."


"Yah, aku tidak keberatan."


"Mu..."


Seira menatapnya dengan ekspresi cemberut di wajahnya.  Dia imut sekali, seperti anak kecil yang sedang dijahili.


"Tersesat di prefektur lain pasti akan sangat buruk."


"Aku tidak akan tersesat.  Aku akan memanggil taksi."


"Baguslah."


"Ini agak membuatku frustrasi.  Tapi terserah, deh."


Tsubaki, yang sedang memperhatikan perbincangan mereka, berkata dengan penuh minat.


"Kalian berdua sangat dekat.  Kalian yakin kalian berdua tidak berpacaran?"


Ini pertama kalinya Tsubaki bertanya pada Yamato apakah dia dan Seira berpacaran atau tidak.  Namun, dari cara dia bertanya, sepertinya dia sudah bertanya pernah pada Seira.


Karena ini adalah kesempatan yang bagus, Yamato pun memutuskan untuk menjawab dengan jelas.


"...Kami memang dekat, tapi kami cuma teman.  Tidak lebih, tidak kurang."


Yamato bermaksud untuk menjawab dengan jelas, tetapi dia akhirnya malah mengatakannya dengan kacau. Untuk beberapa alasan, dia tidak bisa memaksa dirinya untuk mengatakan, "Kami tidak berpacaran."


Tapi maknanya harus sama. Faktanya, Seira berkata kepada Tsubaki, "Lihat kan, sudah kubilang."


Tapi Tsubaki tampaknya tidak mengambil kata-katanya seperti yang dimaksud. Dia tersenyum dengan semacam implikasi dan membuat Yamato merasa gelisah hanya dengan tatapannya itu.


"H-Hei.  Kau lebih muda dariku, jangan terlalu menggoda senpaimu."


"Tidak, secara teknis seingatku aku belum menjadi junior Kuraki-san."


"Kriteria apa yang kau gunakan untuk menentukan itu...?"


"Hmm? Jika aku memang harus mengatakannya, makanya jawabannya adalah apakah kamu layak dihormati atau tidak."


Dengan kata lain, saat ini Tsubaki tidak menghormati Yamato. Yamato pun tersentak karena pernyataannya yang terus terang itu.


Di samping perseteruan tenang Yamato dan Tsubaki, Seira tanpa sadar menguap.


Ketegangan di dalam kereta pun tiba-tiba mereda karena hal ini.


Hal berikutnya yang mereka tahu, tidak ada seorangpun di sekitar mereka, dan jumlah penumpang yang duduk telah berkurang menjadi beberapa saja.


"Aku takut nanti aku akan kelelahan, jadi aku akan berhenti saja untuk sekarang."


"Aku akan sangat menghargainya jika kamu melakukannya."


Mereka melanjutkan perjalanan selama beberapa lama tanpa percakapan, dan berganti kereta beberapa kali.


Pada saat mereka akhirnya tiba di tempat tujuan, hari pun sudah berganti.


"...Sudah gelap."


Yamato menghela napas saat dia melewati peron yang sepi.


Satu-satunya penerangan selain lampu jalan adalah papan nama izakaya (pub Jepang) dan lampu toko serba ada yang berdiri sendirian di kejauhan.


Taksi yang dipanggil Seira belum juga datang, yang dikombinasikan dengan pemandangan asing di sekitar mereka, membuat mereka anehnya merasa tidak nyaman.


Suara ombak bisa terdengar di kejauhan.  Lautnya tampak dekat, tapi fakta bahwa dia sampai repot-repot memanggil taksi menunjukkan bahwa pantai pribadinya tidak dapat dicapai dengan berjalan kaki saja.  Mereka pun tidak punya pilihan selain menunggu taksinya datang.


"Taksinya seharusnya segera datang, kan?"


Seira melihat ponselnya dan mengangguk.


"Seharusnya begitu, kurasa, sekitar lima menit lagi.  Mereka akan meneleponku saat mereka sudah sampai, jadi ayo kita pergi ke suatu tempat sambil menunggu."


"Kalau begitu kita bisa mampir ke toko serba ada yang ada di sana saja.  Di luar sini panas."


"Iya."


"Ya."


Ketika Yamato memasuki toko serba ada, angin sejuk dari AC bertiup ke arahnya, mendinginkan tubuhnya yang terasa gerah.


Tidak ada pelanggan lain, hanya ada pegawai yang tidak bersemangat berdiri diam di kasir.


"Sebaiknya aku beli minuman dan camilan, deh."


Seira bergumam pada dirinya sendiri sambil meletakkan barang-barang belanjaan ke dalam keranjangnya.


Tsubaki, di sisi lain, tampaknya berencana untuk hanya membeli sebotol minuman olahraga saja.


"Kosaka-san hanya membeli minum? Itu menghemat uang sih jadi kurasa aku akan melakukan hal yang sama, deh."


"Yah, kurasa aku ogah memakan makanan dari toko-toko ini.  Selain itu, hari ini pun, aku hanya kelebihan kalori."


Seperti yang diharapkan dari seorang balerina yang aktif.  Yamato yakin dia menghabiskan banyak waktu untuk memperhatikan nutrisi.  Itu sangat berbeda dari Seira, yang setiap harinya hanya makan ramen saja.


"Aku mengerti.  Kamu pasti mengalami banyak kesulitan."


Sambil mengatakan ini, Yamato meletakkan sepasang celana renang di keranjangnya dari bagian merchandise umum.  Ini adalah pengeluaran yang diperlukan.


"Mmhmm~♪"


Seira bersenandung mengikuti musik latar murahan yang diputar di toko sambil menambahkan es krim ke dalam keranjangnya.


Yamato dan Tsubaki memperhatikannya dan menghela napas sedikit.  Tapi mereka memutuskan untuk menahan komentar mereka.  Yamato membencinya, tetapi dia tahu bahwa Seira tidak bersalah.


"Kita harus pergi membayarnya."


"Ya."


Yamato dan Tsubaki pergi ke depan dan membayar barang-barang belanjaan mereka di kasir lalu berjalan keluar dari toko.


Mereka duduk di bangku yang terletak di depan toko dan menyesap minuman mereka.


"Fyuh..."


Dengan rasa haus yang terpuaskan, mereka berdua menarik napas kecil.


"Di sekitar sini sangat gelap."


"Ketika tidak ada penerangan seperti ini memang seram."


"Aku tidak pernah berada di luar selarut ini bersama seseorang seusiaku, jadi ini membuatku sedikit gugup."


Tsubaki tersenyum, tapi Yamato masih bisa merasakan bahwa dia sama cemasnya dengan kata-katanya.


Penampilannya tumpang tindih dengan Yamato ketika dia pertama kali keluar di malam hari.  Yamato masih ingat dengan jelas perasaan diliputi kecemasan saat itu.


Namun, dia bohong jika dia bilang bahwa bahkan sekarang dia tidak merasa cemas.  Ini bukan kota yang familiar, dan berada di tempat asing di tengah malam itu rasanya sangat mendebarkan.


"Sungguh, aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi... Kosaka-san tahu apa yang Shirase sembunyikan, kan?"


"Ehh, yah... Tapi karena kita sudah sejauh ini, aku tidak akan merusaknya."


"Yah, tentu saja tidak."


Setelah menyelesaikan percakapan seperti ini pun, Seira masih belum keluar juga.


Terus terang, situasi saat ini terasa canggung. Seira ada di dalam toko, dan Yamato tidak bisa memikirkan apapun untuk segera dibicarakan untuk memecah keheningan di antara mereka.


Yamato berpikir untuk menanyakan Tsubaki soal hubungannya dengan Seira, tapi karena dia tidak tahu kapan Seira akan kembali, dia merasa tidak nyaman melakukannya.


Sementara Yamato memikirkan ini dan itu, Tsubaki berbicara duluan.


"Apa Kuraki-san berpartisipasi dalam aktivitas klub apapun?"


"Tidak, tidak juga..."


"Oh begitu..."


...Percakapan berakhir.


Yamato membiarkan percakapannya berakhir tanpa memperluas topik, meskipun Tsubaki telah bersusah payah untuk memulai percakapan.


Menyadari bahwa bukan seperti inilah seharusnya, Yamato dengan cepat kembali dengan sebuah pertanyaan.


"Nah, Kosaka-san, kau sudah lama bermain balet, kan? Sudah berapa lama kau mempelajarinya?"


"Aku memulainya saat aku baru masuk SD, jadi aku sudah melakukannya selama hampir sepuluh tahun."


"Jadi kau sudah menjadi penari balet sepanjang hidupmu?"


"Tidak, awalnya aku mengambil berbagai les lain selain balet.  Aku juga belajar piano, kaligrafi, merangkai bunga, dan seni bela diri."


"Aku tidak tahu itu.  Kau terdengar seperti Shirase saja."


Yamato jadi bertanya-tanya apakah semua anak dari keluarga kaya memang seperti itu sejak kecil.  Tapi dia pikir tidak baik memukul rata mereka semua begitu.


Tapi Yamato penasaran apakah keadaan mereka memang sama, dan Tsubaki pun menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.


"Kami tentu saja berbeda. Dalam kasusku, aku berhenti dari segalanya saat aku masih di SD."


"Apakah alasannya karena balet yang paling kau sukai?"


Tsubaki menundukkan kepalanya dan menjawab.


"Tidak, bukan karena alasan yang mulia begitu.  Hanya saja balet adalah keahlian terbaikku, dan aku masih memiliki kesempatan untuk menang."


"Hmm? Apa maksudmu dengan 'kesempatan untuk menang'?"


Pada kebingungan Yamato, Tsubaki menjawab dengan senyum mengejek diri.


"Iya, melawan Seira-senpai. Namun, bahkan itu pun keputusan yang buruk."


Tampaknya orang yang dia bandingkan dengan dirinya sendiri adalah Seira.


Dengan kata lain, Tsubaki sepertinya telah menganggap Seira sebagai saingan sejak kecil.


"B-begitu ya... Jadi begitulah hubungan kalian berdua."


Bagi Yamato, yang tidak pernah mengabdikan diri pada apa pun atau bersaing dengan siapa pun, cerita semacam ini tampak agak asing.


Oleh karena itu, tidak tahu harus merespon bagaimana lagi, dia hanya bisa menjawab dengan, "Maafkan aku."


Mungkin karena merasakan kekhawatiran Yamato, Tsubaki pun tersenyum lembut padanya.


"Tapi itu sudah lama sekali.  Aku sudah menerima kenyataan dan aku tidak memiliki persaingan lagi dengan Seira-senpai."


"Aku mengerti.  Aku sedikit khawatir karena kukira kalian tidak akur."


"Bukannya kami tidak akur.  Bahkan sekarang dan di masa lalu pun, senpaiku selalu menjadi seseorang yang kukagumi.  Itulah satu-satunya hal yang belum berubah, dan itulah kenapa aku mau datang jauh-jauh ke sini untuk menemuinya hari ini."


Kata-kata tersiratnya membuat Yamato merasa sedikit tidak nyaman.


Namun, di hadapan wajah tersenyum Tsubaki, dia tidak ingin membahas masalah ini lebih jauh.


"Ya, aku bisa sepenuhnya memahami kekagumanmu pada Shirase, Kosaka-san."


"Fufu, aku senang mendengarnya."


Setelah jeda percakapan, Yamato berbalik untuk mencari Seira, yang masih belum keluar dari toko, dan melihat bahwa dia sedang membayar di kasir.  Sepertinya akan memakan waktu yang lama karena banyaknya barang yang dia beli.


Yamato menoleh kembali ke sampingnya dan melihat Tsubaki tampak sedih.


"...Um, kurasa Shirase juga senang bertemu Kosaka-san setelah sekian lama.  Ini mungkin terlihat biasa saja, tapi menurutku dia lebih bersemangat dari biasanya."


Mencoba mengalihkan perhatiannya dari perasaannya, Yamato mengucapkan kata-kata ini.


Kemudian, Tsubaki mendongak dan tersenyum padanya seolah-olah dia berusaha menjadi kuat.


"Bukankah alasan kegembiraan senpai lebih tinggi dari biasanya, karena kita sedang liburan musim panas kan?"


"Ugh... tentu, itu mungkin juga bagian dari alasannya."


"Fufu, terima kasih atas perhatianmu.  Kuraki-san benar-benar orang yang baik."


"Tidak, biasa saja kok..."


"Maaf membuat kalian menunggu."


Seira keluar dari toko dan membawa kantong plastik di kedua tangannya dan terlihat sangat puas.


"Sepertinya kamu membeli banyak sekali."


"Iya. -Ayo, mari kita semua makan bersama-sama."


Seira berkata dan menawarinya sekotak es krim buah (isinya delapan potong seukuran gigitan) yang baru saja dia beli.


Alasan Yamato menahan diri dari membeli es krim adalah untuk menghemat uang.  Tetapi Seira telah menawarinya dan tidak ada alasan baginya untuk menolak.


Rasa dingin dan manis dari buah pun memenuhi mulutnya dan menyegarkan tubuhnya yang kegerahan.


"Mmm~, es krim di musim panas memang sangat spesial."


Melihat wajah tersenyum Yamato, Tsubaki pun tidak bisa menahan diri dan memasukkan sepotong juga ke mulutnya.


"--!"


Mata Tsubaki melebar sesaat, lalu dia berdiri dan langsung masuk ke dalam toko serba ada.


Menggantikan Tsubaki, Seira pun duduk di sebelah Yamato, menatap langit malam, dan memasukkan es krim ke dalam mulutnya.


"Aku tahu tidak akan terasa seperti liburan musim panas telah dimulai jika aku tidak makan es krim."


"Kuharap ini tidak berdampak buruk pada baletnya Kosaka.  Selain itu, kita memakannya di malam hari pula."


Sekali lagi, Tsubaki memasuki toko, mungkin untuk membeli es krim untuk dirinya sendiri.  Rupanya, setelah mencicipi, dia tidak bisa mengendalikan keinginannya.


"Nah, jangan makan es krimnya saja, ini ayam gorengnya juga."


"Kau benar-benar tidak peduli waktu ya... Maksudku, bukannya makan gorengan pada jam seperti ini bikin gemuk?"


"Tidak apa-apa kok.  Berat badanku tidak bertambah tak peduli aku makan sebanyak apapun."


Seira berkata dengan riang, memasukkan sepotong ayam goreng seukuran gigitan ke mulutnya.


"Aku tidak tahu soal itu..."


"Sungguh, dunia ini tidak adil..."


Tsubaki, yang keluar dari toko, berkata, menatap Seira dengan kesal sambil menyesap stik es krimnya.


Seira tidak peduli dengan tatapannya dan dengan cepat memakan makanan goreng itu lalu berdiri.


"Kurasa taksinya sudah datang. Ayo kita pergi."


Yamato dan Tsubaki saling memandang dan menertawakan langkah Seira, lalu mengikutinya.


Mereka naik taksi dan menyusuri jalan pegunungan beberapa saat sampai mereka tiba di jalan di tepi laut.


Dalam perjalanan, pengemudi bertanya apakah mereka adalah siswa yang bepergian bersama, yang membuat Yamato sedikit gugup, tetapi dia dapat melewatinya tanpa kesulitan karena Seira, yang duduk di kursi penumpang, berbohong dan mengatakan bahwa mereka adalah mahasiswa.


Setelah sekitar 30 menit, mereka tiba di tempat yang tampaknya menjadi tujuan mereka.


Seira hendak membayar ongkosnya, tapi Yamato cukup keras kepala, sehingga mereka pun patungan.  Biayanya cukup mencekik bagi Yamato, tapi itu adalah harga kecil yang harus dibayar untuk melindungi harga dirinya.


Saat dia turun dari taksi, dia melihat tanda yang menunjukkan properti pribadi.


Seira melangkahi rantai yang menghalangi jalannya tanpa ragu-ragu dan berjalan lurus ke depan.


"Hei, hanya untuk memastikan, apakah kita memiliki izin untuk pergi ke sana?"


Yamato bertanya padanya, dan Seira pun berhenti dan balik menatapnya.


"Tidak.  Jadi kamu tidak boleh masuk ke vila, tapi harusnya kamu boleh ke laut."


"Sudah kuduga akan seperti itu..."


Yamato berharap dia bisa ingat untuk membuat lebih banyak rencana atau bertindak lebih hati-hati, tapi sekarang sudah terlambat untuk itu semua.


Yamato merenungkan pilihannya dan mengangkangi rantai, dan Tsubaki pun mengikutinya.


Kemudian, saat mereka mendaki lereng bukit yang landai, mereka tiba di sebuah alun-alun.  Ada sejumlah bangunan kayu - kabin kayu - yang berbaris berjajar.


Tak satupun dari kabin kayu itu yang dibangun berjajar di sepanjang jalan, yang memiliki penerangan.


Yamato pikir mungkin alasannya karena waktu yang sudah malam, tapi dia rasa tidak ada orang di dalam.


"Tidak ada yang menggunakan tempat itu."


''Ini masih bulan Juli.  Tapi sebentar lagi, tempat itu akan penuh akan kerabatku."


"Seluruh tempat ini, hanya diisi oleh kerabatmu..."


Yamato tidak menyadari bahwa seluruh area ini hanya akan digunakan oleh kerabatnya.  Tampaknya orang kaya memang hidup di dunia yang berbeda dari dunianya.


Tidak seperti Yamato, yang melihat-lihat sekeliling dengan takjub, Tsubaki tampak berjalan-jalan tanpa berpikir.


"Kurasa, dari sudut pandang orang kaya, hal seperti ini itu normal?"


Ketika Yamato bertanya pada Tsubaki soal hal itu, dia segera menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.


"Tidak, tidak ada banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu vila.  Keluargaku hanya punya satu."


"Jadi, kau memang punya..."


"Kalau dibicarakan, iya.  Memang benar bahwa kebanyakan orang tidak memiliki rumah liburan."


Mungkin karena geli dengan reaksi Yamato, yang terkejut sekaligus tercengang, Tsubaki pun terkekeh.


Sambil berbicara seperti ini, mereka memasuki lereng yang menurun, dan setelah beberapa saat, pandangan mereka terbuka.


"Ooh..."


Yamato tidak bisa menahan suaranya.


Laut malam terbentang di bawah mereka.


Pada pandangan pertama, pemandangan itu tampak gelap dan agak menakutkan.  Namun selebihnya, pemandangan alam yang luas menciptakan kegemparan perasaan di dalam hatinya.


Yamato telah mencium aroma ombak sejak tadi dan mengira lautnya pasti dekat, tetapi dia tidak tahu bahwa memang ada pantai pribadi yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki.  Saat dia benar-benar melihatnya, dia tak bisa berkata-kata.


"Di sekitar sini juga masih gelap.  Dan agak dingin karena anginnya kencang."


Kata Tsubaki, dengan putus asa memegangi rambut dan ujung gaunnya, yang tertiup angin kencang.


Sebagai perbandingan, Seira, yang juga mengenakan gaun one-piece, merentangkan tangannya dengan nyaman sambil menerima angin di sekujur tubuhnya.  Yamato berharap dia mau belajar sedikit dari Tsubaki.


"Untuk sekarang aku sudah cukup melihat-lihat pemandangannya. Haruskah kita kembali?"


"Kau tidak ingin berenang?"


"Masih gelap, jadi tidak aman untuk berenang.  Mungkin kita bisa tidur dulu sebentar di rumah kayu."


"Hah...? Lalu untuk apa kita datang ke sini gelap-gelap?"


"Rahasia."


Bahkan setelah sekian lama, Seira tampaknya tidak berniat memberi tahu tujuannya pada Yamato.  Tsubaki, di sisi lain, menatap Yamato seolah berkata, "Kamu masih belum menyadarinya?"


"Aku benar-benar selalu didorong sana-sini..."


Yamato mengikuti mereka berdua yang berjalan di depan, merenungkan situasinya.


Jadilah mereka kembali lagi ke alun-alun tempat vilanya berada dan kemudian tidur di bangku.


"Kalau begitu, selamat malam~."


Seira berbaring di bangku dan tertidur.


"Kuharap kamu bangun dalam dua jam juga, Kuraki-san.  Selamat malam."


Yamato merasa seolah-olah dia akhirnya mengerti tujuan Seira ketika Tsubaki mengatakan itu padanya.


"Ah, selamat malam.  Aku akan pastikan aku tidak kesiangan."


Setelah mengatakan ini, Yamato berbaring di bangku yang terletak agak jauh dari mereka berdua.


Namun, dia merasa dia tidak akan bisa tidur dalam keadaan spesial seperti itu.


--Bing.


Yamato terbangun oleh suara alarm ringan yang mencapai telinganya.


Mungkin karena lelah, dia tertidur tanpa menyadarinya.


Membuka kelopak matanya yang terasa berat, dia melihat area itu sedikit lebih terang.


Dia duduk dan melihat ke arah Seira, dan melihat Tsubaki bangun.


Namun ternyata Seira belum bangun.


Yamato menghela nafas dan kemudian mendekati Seira.


"... Shirase, sudah waktunya.  Kita mau melihat matahari terbit, kan?"


Saat Yamato memanggilnya, Seira terbangun dengan kaget.


"Mmm... Jadi Yamato menyadarinya."


"Seperti yang diharapkan.  Jadi... kau mau pergi? Atau kau mau tetap di sini dan tidur lagi?"


"Hm, aku mau pergi."


Mereka bertiga berjalan bersama ke kamar kecil, mencuci muka, dan mulai berjalan menuju laut.


"A-aku tidak pakai make-up..."


Tsubaki menyadari bahwa make-upnya telah memudar dari wajahnya dan buru-buru menutupinya, tapi sudah terlambat.  Yamato sudah melihatnya duluan.


"Tidak terlihat aneh kok.  Kau tidak terlihat berbeda dari biasanya."


"Hei, kamu sedang mencoba membuatku marah ya?"


"Tidak! Sungguh!"


Fakta bahwa mata Tsubaki berkedut dengan senyuman sangatlah menakutkan sehingga Yamato berusaha mati-matian untuk menyangkalnya.


Yamato mencoba yang terbaik untuk menindaklanjuti, tapi sepertinya gadis itu tersinggung.  Sekali lagi Yamato diingatkan bahwa hati perempuan adalah hal yang sulit untuk dipahami.


"Tsubaki terlihat imut meski tanpa make-up, kok. Dan aku juga tidak pakai make-up, jadi kamu tidak usah khawatir."


Seira kemudian dengan santai bergabung dalam percakapan. Karena itu adalah Seira, dia mungkin tidak mengikuti arahan Yamato, tapi hanya mengutarakan pikirannya dengan jujur.


Namun, ketika Tsubaki mendengar apa yang dikatakannya, bukannya merasa lebih baik, dia tampak menjadi agak pemarah.  Bahkan tanpa berusaha menyembunyikan kekesalannya, dia memelototi Seira.


"Wow, sarkasme datang dari Seira-senpai, yang terlalu cantik bahkan saat dia tidak memakai make-up apapun."


"Fufu, terima kasih.  Aku melakukan yang terbaik untuk merawat diri."


"Haa... astaga, orang ini."


Tampaknya Tsubaki memang bukan tandingan Seira.  Dia tampaknya telah benar-benar kehabisan permusuhan.


Fakta bahwa komentar problematik yang dibuat oleh Yamato telah dilupakan, untuk sekarang dia pun merasa lega.


Sementara itu, mereka akhirnya tiba di pantai pribadi.


Laut, yang sekarang remang-remang, tidak tampak menakutkan seperti beberapa jam yang lalu.


Saat mereka melangkah ke pantai berpasir, Seira pun berbaring.


"Mmm~ Rasanya enak sekali~"


"Anginnya kencang seperti biasanya, tapi suhunya semakin hangat."


"Pemandangannya berubah tergantung waktu.  --Shirase, apa kau sudah memeriksa waktu matahari terbitnya?"


Seira memeriksa ponselnya dan kemudian mengangguk.


"Sekitar lima menit lagi, kurasa."


"Sebentar lagi."


Mereka bertiga duduk berdampingan di pantai dan menunggu dalam diam hingga matahari terbit.


Beberapa menit pun berlalu.


"""Ah---"""


Mereka bertiga berteriak serempak, lalu langsung berdiri.


Cakrawala yang jauh tampak cerah, dan cahaya yang menyilaukan memenuhi bidang penglihatan mereka.


Mataharinya terbit.


"Cantiknya."


"Iya."


Segera, sinar matahari menyinari seluruh area, mengubah pemandangan laut.


Pada saat ini, mata Yamato dan yang lainnya mulai menyesuaikan dengan silaunya matahari terbit.


"Kalian suka? Luar biasa kan?"


Seira berkata dengan puas kepada dua orang yang sedang terpesona di sebelahnya.  Seolah-olah dia sendirilah yang membawa matahari itu kepada mereka.


"Aku tidak tahu mengapa Shirase bertingkah begitu sombong."


"Itu karena, yah, entahlah."


"Entah? ...Yah, aku berterima kasih pada Shirase sih karena sudah membawaku ke sini untuk melihat matahari terbit."


"Aku juga senang bisa melihat matahari terbit.  Terima kasih ya." -


"Sama-sama. -Fwah, aku ingin tidur lagi."


Seira, tampaknya benar-benar puas dengan rasa terima kasih keduanya, berbalik ke arah mereka datang tadi.


Yamato hendak mengikuti saat dia menyadari bahwa Tsubaki masih menatapi cakrawala.


"Kosaka-san?"


"Apa ini juga disebut sebagai matahari terbit pertama tahun ini?"


"Heh?"


Yamato bingung ketika Tsubaki mulai mengatakan hal seperti itu.


Istilah "matahari terbit pertama" seharusnya mengacu pada matahari terbit yang terlihat pada Hari Tahun Baru.


Berbalik, Tsubaki tampak terkejut dan menambahkan.


"Tidak, Seira-senpai memberitahuku sesuatu seperti itu sebelum aku datang ke sini.  Itu adalah matahari terbit yang kau lihat di pagi pertama liburan musim panas, makanya disebut sebagai matahari terbit pertama..."


"H-heh..."


"Bukan aku lho yang memulainya!"


"Haha, aku mengerti.  Dan itu terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan oleh Shirase."


Agak lucu melihat Tsubaki terburu-buru, dan Yamato tidak bisa menahan tawanya.


Tsubaki, tampaknya tidak senang dengan ini, berbalik dengan pipinya yang mengembung.


"Kamu tidak perlu melihatnya lagi? Matahari terbit pertamanya?"


"Jangan terlalu banyak mengolok-olok juniormu.  Nah, haruskah kita kembali?"


Ketika mereka kembali ke alun-alun tempat pondok kayu berada, Seira sudah berbaring di bangku.


"Shirase benar-benar berjalan dengan kecepatannya sendiri."


"Astaga.  Pasti sulit bagimu untuk berteman dengan orang seperti itu, Kuraki-san."


"Sepertinya begitu.  Tapi jika kau mengatakannya seperti itu, pasti sulit juga bagi Kosaka-san."


"Aku adalah... temannya.  Tapi mungkin aku tidak bisa berbicara untuknya."


Entah kenapa, Yamato merasa tidak nyaman saat melihat Tsubaki tersenyum sedih.


Seira pernah berkata tentang Tsubaki, "Aku tidak tahu apakah aku bisa memanggilnya teman." Apakah ini ada kaitannya dengan itu?


Tapi sekarang bukanlah waktunya untuk bertanya, jadi Yamato memutuskan untuk tidur saja dengan nyenyak.


"Kalau begitu, selamat malam."


"Ya selamat malam."


Setelah bertukar salam seperti itu lagi, dia berbaring di bangku aslinya.


Mungkin karena dia baru saja melihat matahari terbit yang indah, tapi kali ini dia langsung tertidur.


"-Yamato, bangun."


Yamato mendengar suara Seira.


Dia membuka kelopak matanya yang berat dan melihat wajah Seira terpantul dalam pandangannya yang agak kabur.


"Nn..."


"Ini sudah siang.  Kita semua sudah siap untuk pergi."


Wajah Seira, seperti katanya, memang cantik diwarnai dengan riasan natural.


Dan bikini biru cerahnya yang menonjolkan kulit putihnya-


"-Baju renang!?"


Menyadari Seira memakai pakaian renangnya, kesadaran Yamato pun langsung terbangun.


Dia melompat dan jatuh dari bangku, dan Seira yang berpakaian bikini mengulurkan tangannya padanya.


"Ah, hai."


Seira berkata kepada Yamato, yang berdiri sambil menatapnya dengan ekspresi bingung di wajahnya.


"Kita mau pergi berenang sekarang, jadi wajar saja kalau aku memakai baju renang.  Yamato, kamu harus cepat-cepat makam dan ganti baju renangmu."


Seira menunjuk ke meja tempat roti dan onigiri disiapkan sebelumnya. Rupanya, dia membelinya saat Yamato sedang tidur.


"Aku tidak percaya kau mengatakan itu... Ini rangsangan yang terlalu banyak untuk seorang pria yang baru bangun tidur."


"Hmm? Apa itu?"


"Tidak, bukan apa-apa. -Di mana Kosaka-san?"


"Hm? Dia ada di sana barusan."


"Yah, tidak apa-apa deh.  Nah, pakai saja ini untuk sekarang."


Saat Yamato menyerahkan kaus yang dia lepas pada Seira, dia memiringkan kepalanya.


"Meskipun kita mau pergi berenang?"


"Setidaknya pakai saja ini sampai kita tiba di pantai.  Kalau tidak, aku akan mendapat masalah."


"Itu aneh.  Tapi yah, tak apa."


Seira pun memakai kaus Yamato seperti yang diperintahkan, dan memulai latihan persiapan seperti itu.


Yamato menyuruhnya memakainya, tapi melihat sekilas bikini Seira dari ujung kausnya begitu merangsang sehingga dia merasa gelisah sejak dia bangun tadi.


Membiarkan bagian atas tubuhnya telanjang, Yamato menggunakan set sikat gigi dan krim pencuci wajah yang telah disiapkan untuknya, dan setelah menghabiskan porsi roti dan onigirinya, dia mengganti celana renangnya di sudut rumah.  Selain itu, dia juga melepas sepatunya dan bertelanjang kaki.


"Terima kasih telah menunggu.  Aku juga sudah siap untuk pergi."


"Baiklah, ayo.  Tsubaki sepertinya sudah duluan ke sana."


Seira, seolah lelah menunggu, menarik tangan Yamato dan mulai berjalan pergi.


Seperti biasa, skinship Seira begitu natural dan spontan sehingga membuatnya gugup.


Juga, cara mereka berpakaian sekarang terlalu merangsang. Karena keduanya memakai pakaian terbuka, Yamato mau tidak mau jadi merasakannya hanya dengan menyentuh tangan satu sama lain.


-Dan saat Yamato menderita karenanya, pandangannya tiba-tiba menjadi terang.


Mereka tiba di pantai, dan matahari menyinari mereka secara langsung.


"Ugh, terang sekali."


"Rasanya seperti musim panas sekali. -Ah, Tsubaki."


Yamato sempat melihat ke arah pantai dan melihat Tsubaki sedang duduk di tepi pantai.


Tsubaki mengenakan jersey di atas baju renangnya.  Tampaknya dia sudah menyadari kehadiran mereka dan menatap mereka dengan curiga.


"Oi!"


Seira berlari ke pantai, melambaikan tangannya.  Namun, tangannya yang lain dengan kuat menggenggam tangan Yamato dan tidak mau melepaskannya, sehingga mereka harus berlari bersama.


Pantai berpasir putih memiliki nuansa yang unik, seperti bantal. Satu langkah yang tidak hati-hati saja akan merusak keseimbangan mereka.


"Hei, Shirase, jangan lari-larian di pantai."


"Tidak apa-apa.  Bahkan jika aku jatuh pun, di atas pasir rasanya tidak akan sakit."


"Kau sudah berasumsi kalau kau akan jatuh- Wah!?"


Begitu dia mengatakan ini, kaki Yamato terjerat dan dia serta Seira pun jatuh.


""....""


Akibatnya, Yamato berada di atas Seira, dan ketika dia segera mencoba memindahkan tubuhnya, tatapan mereka saling bertemu.


Refleks, Yamato menelan ludahnya...


Wajah Seira berada tepat di samping Yamato. Matanya yang jernih menatap lurus ke arahnya, dan bibirnya yang berbentuk bagus terbuka seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu.


Yamato bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.  Dan wajahnya terasa panas.


Saat mereka menatap mata satu sama lain dari jarak dekat, Yamato merasa seolah-olah dia tertarik ke matanya.  Yamato tahu mereka tidak boleh terus seperti ini, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya.


(...Tidak, jangan terbawa suasana! Tenangkan dirimu, Kuraki Yamato!)


Pada saat itu, Yamato berhasil membangkitkan alasannya untuk melepaskan tubuhnya, dan begitu dia berdiri, dia mengulurkan tangannya.


"M-MM-Maaf, kau tidak apa-apa?"


Yamato mencoba bersikap tenang, tapi dia terlalu terburu-buru dan tidak bisa berbicara dengan lancar.


Tanpa menunjukkan kepura-puraan mengolok-olok Yamato, Seira pun meraih tangannya dan mengangguk.


"Aku baik-baik saja, terima kasih. Sudah kuduga rasanya tidak akan sakit."


"I-iya..."


Berdiri, Seira meregangkan tubuhnya dan kemudian menoleh ke Yamato.


"Oh iya, Yamato punya mata yang indah."


"Uhuk?!"


Yamato terbatuk dengan sekuat tenaga saat tiba-tiba diberitahu ini.


Dia kemudian berhenti ketika Seira menggosok punggungnya.


"Kau baik baik saja?"


"A-aku baik-baik saja..."


Sampai sekarang, Yamato berpikir dari lubuk hatinya bahwa dia sangat senang Seira sedang mengenakan kaus.


Kalau tidak, Yamato tidak tahu apa yang akan dia lakukan ketika pertahanannya sampai runtuh.


-Tatap.


Kemudian dia memperhatikan tatapan Tsubaki.  Dia jelas memberinya tatapan curiga.


"...Dasar hewan, ya."


Dan kemudian dia melontarkan kata-kata yang menghina pada Yamato. Karena inilah, Yamato sudah merasa ingin pulang saja.


"Baiklah."


Tapi tampaknya Seira tidak peduli lagi.


Dia tiba-tiba berteriak, dan kemudian dia melepas kausnya.


Bikini biru terlihat cocok di kulit putihnya.  Dengan laut sebagai latar belakang, sosok Seira yang berbikini tampak seperti adegan film.


Tentu saja, Yamato terpaku melihatnya, tapi kemudian dia kembali tersadar saat dia melihat Tsubaki menatapnya sekali lagi.


Dengan cepat, dia pura-pura tidak melihatnya, tetapi sudah terlambat. Tsubaki membuka mulutnya dengan senyuman.


"Aku lupa kalau Kuraki-san juga laki-laki.  Aku akan lebih berhati-hati nanti."


"Tidak, Kosaka-san tidak lupa, sejak awal kau sudah waspada.  Kau bahkan mengenakan pelindung ruam."


"Ini... baju renangnya ternyata lebih mencolok dari yang kukira, dan kupikir ini tidak terlihat cocok untukku..."


Tsubaki, yang mungkin tidak menduga akan diserang balik, bergumam.


Melihat Tsubaki seperti itu, Seira pun berlari ke arah Tsubaki.


"Ya!"


Dia dengan penuh semangat membuka ritsleting dan melepas pelindung ruam Tsubaki.


Kemudian, bikini merah polkadotnya pun terlihat-


"Kyaaa!? -Apa yang kamu lakukan, senpai!"


Tsubaki dengan panik memprotes, dan wajahnya memerah malu.


Meskipun Yamato tahu tidak seharusnya dia menatapnya, matanya terpaku pada baju renang Tsubaki.


"Dan kau, Kuraki-san! Jangan menatapku berlebihan begitu!"


"M-maaf!"


Yamato buru-buru berbalik, tapi kemudian dia tiba-tiba menjadi tenang.


"Tapi ini kan di laut, dan melihat pakaian renang itu normal-normal saja, kan?"


"Ukh... tetap saja, aku harus bersiap. Rasanya memalukan... berpakaian sangat tipis di depan seorang pria."


Mungkin karena dia dibesarkan di sekolah khusus perempuan, Tsubaki tampaknya tahan terhadap hal-hal seperti itu.


Rasa malunya juga menggemaskan, tapi di sini Yamato memutuskan untuk mendengarkannya dan membalikkan punggungnya untuk sementara waktu.


"...Sekarang sudah tidak apa-apa jika kau menoleh ke arah sini."


Saat diberitahu begitu, Yamato pun berbalik.


Kemudian dia melihat Tsubaki dalam pakaian renangnya berdiri sepuluh meter darinya, gelisah.


"Ah... Umm, itu terlihat bagus kau pakai, baju renang itu."


Kata Yamato setengah terkejut, dan Tsubaki pun berkata dengan nada menyesal, "Maaf..."


"Yah, nanti juga kamu akan terbiasa.  Seperti yang Yamato bilang, bajunya terlihat bagus kau pakai."


Sebaliknya, Seira menyemangati Tsubaki dengan sikap terbuka yang tidak menunjukkan sedikitpun rasa malu.


"Umm, aku tahu sekarang sudah agak terlambat untuk mengatakan ini, tapi Shirase juga terlihat cocok-Wah!?"


Seira menarik kedua tangan mereka dan mulai berlari menuju laut.


"Senpai, aku belum mempersiapkan diri..."


"Aku juga belum siap-D-Dingin sekali!"


Melangkah ke dalam air laut, Yamato terkejut karena ternyata airnya dingin.


Tapi tetap saja, itu bukan masalah bagi Seira, dan dia melompat-lompat dengan tangan terangkat di udara.


"Wah?!"


Mereka bertiga terkena ombak dan langsung basah kuyup.


"Ahaha, rasanya sungguh menyenangkan, tapi ini basah sekali.  Aku basah kuyup."


Mereka bertiga terkena ombak dan langsung basah kuyup.


"Ahaha, rasanya sungguh menyenangkan, tapi ini basah sekali.  Aku basah kuyup."


Seira mulai tertawa, dan Yamato dan Tsubaki saling memandang dan kemudian ikut tertawa.


Sejak momen itu, mereka pun menikmati pantai pribadi, saling mencipratkan air dan bermain voli pantai, tanpa banyak kesadaran satu sama lain.


...Tapi masih mustahil bagi Yamato untuk tidak menyadarinya.


Seira, yang kehilangan keseimbangan di dalam air, membungkuk, dan pertahanan Yamato rasanya akan meledak ketika dia menangkapnya.


Lagipula, dia sangat dekat dengan Seira, yang mengenakan pakaian renang.  Secara alami, dia menyentuh dadanya yang besar dan perasaan lembut itu hampir membuatnya tak kuat.


Pada saat itu, dia merasakan tatapan dingin Tsubaki padanya, dan dia berhasil mendapatkan kembali pertahanannya.


"K-kau baik-baik saja?"


"Ya aku baik-baik saja. Terima kasih."


-Gemuruh...


Terdengar suara gemuruh.


Awan hitam terlihat di kejauhan. Suara yang mereka dengar tadi sepertinya adalah petir.  Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan.


"Ini tidak baik.  Ayo kita kembali sebelum hujan mulai turun."


Pada saat mereka bertiga keluar dari air, langitnya tertutup awan.


Saat mereka bergegas kembali ke alun-alun pondok kayu, beberapa tetes hujan pun mengenai batang hidung mereka.


Kemudian, dalam sekejap mata, gerimisnya berubah menjadi hujan deras.


Untungnya, ada paviliun tempat mereka bisa berlindung dari hujan, jadi mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di sana sampai hujan berhenti.


Tapi kemudian- ......


"Wow, mandi."


Dengan alasan karena dia sangat lengket dengan air laut, Seira mulai mandi di tengah hujan alih-alih mandi biasa.


"Senpai, jiwamu bebas sekali ya."


"Jika tidak berhati-hati, kau akan masuk angin."


Yamato dan Tsubaki menyaksikan pemandangan itu dari jauh dengan putus asa.


Ada pancuran yang tersedia di pantai.  Oleh karena itu, mereka bisa menunggu hujan berhenti, tetapi tampaknya dalam kasus Seira, suasana hati lebih diutamakan daripada rasionalitas.


Seira memanggil mereka saat dia sedang basah kuyup oleh air hujan.


Ketika mereka memiringkan kepala mereka, Seira tersenyum polos.


"Kalian berdua harus ikutan juga, rasanya sangat menyenangkan."


Dia mengatakannya dengan sangat bahagia sehingga mereka secara alami pun tertarik pada tawarannya.


"Aku tidak bisa menahan diri."


"Aku ingin mencuci tubuh lengketku sesegera mungkin."


Dengan alasan itu, mereka berdua dengan semangat pergi ke luar paviliun.

Kemudian, hujannya memang terasa seperti mandi, cocok untuk membasuh tubuh mereka yang lengket dengan air laut.


"Lumayan juga, ya?"


"Tapi bukankah ini sedikit terlalu deras?"


"Yah, seperti inilah mandi yang hebat."


"Begitukah?"


"Betul sekali."


Saat mereka mengobrol, hujannya pun mulai reda. Sudah berakhir.


"Ehhh, sudah selesai saja?"


"Jangan terlihat kecewa begitu.  Ayo pergi ke pantai untuk mandi sungguhan."


"Benar.  Air hujan tidak terlalu baik untukmu."


"Jangan bilang begitu setelah kamu yang tadi mandi hujan duluan..."


"Itu yang terburuk..."


Setelah mendapatkan kembali ketenangan mereka dan mengambil handuk, mereka bertiga pergi menuju pantai untuk menggunakan pancuran yang asli.


Kios pancuran dipisah menjadi ruang-ruang pribadi, tapi karena mereka bersebelahan, mereka dapat mendengar semuanya.


"Fiuh, aku merasa segar."


""Aku lelah...""


Karena itu, Yamato dan Tsubaki merasa kelelahan saat mereka selesai mandi.


"Nah, sekarang kita sudah melakukan apa yang kita inginkan, mari kita pulang."


Seira, yang telah selesai berganti pakaian dan tampak segar, mengatakan ini sebelum berjalan pergi.


Tujuannya di sini adalah untuk melihat matahari terbit di laut dan berenang dan bermain.  Dalam hal itu, tak ada salahnya untuk mengatakan bahwa mereka telah mencapai tujuan mereka kali ini.


Tapi bagaimana dengan tujuan Tsubaki - untuk melihat apakah Seira tersesat atau tidak?


Biasanya, hal itu akan keluar dari bayangan karena mereka keluar larut malam, yang cukup tidak pantas bagi anak SMA.


"Kuraki-san?"


Saat dia berhenti untuk berpikir, Tsubaki memanggilnya dengan nada khawatir.


Yamato menoleh ke Tsubaki dan memutuskan untuk bertanya langsung padanya.


"Kosaka-san bilang kau ingin menilai apakah Shirase tersesat atau tidak, tapi apa kau sudah bisa membuat kesimpulan?"


Mungkin terkejut ditanya begitu pada waktu seperti ini, Tsubaki pun menjawab dengan cemberut


"Ya, tampaknya dia mengacaukannya jauh lebih dari yang kuharapkan. Tapi jika kamu bertanya padaku apakah dia tersesat atau tidak, secara umum, aku tidak dapat menyimpulkan apa-apa."


"Yah, kurasa juga begitu..."


"Tapi itu hanya 'secara umum'. Yang ingin aku tentukan adalah hal lain.  Aku belum membuat penilaian soal hal itu, jadi kamu bisa yakin."


Bahkan jika dia berkata, "Yakin," pun Yamato tidak bisa tenang sampai dia mengerti apa niatnya.


Yamato menanggapi dengan sedikit kesal karena jawabannya yang tidak jelas.


"Pada akhirnua, apa sih yang kau inginkan, Kosaka-san?"


"Aku hanya ingin mengembalikan situasi seperti yang seharusnya. -Kita bisa membicarakannya lebih jauh di lain waktu."


Dengan kata lain, dia tidak akan menerima pertanyaan lebih lanjut.


Yamato menganggukkan kepalanya, merasa sedikit pahit.


Namun, dia memutuskan untuk mengajukan satu pertanyaan lagi.


"Aku hanya punya satu pertanyaan untuk sekarang.  Apa kau menikmati dua hari ini, Kosaka-san?"


Untuk pertanyaan ini, Tsubaki segera mengangguk.


"Ya, aku menikmatinya.  Ini semua sangatlah baru bagiku, dan aku sangat menikmatinya."


Dia sepertinya mengatakan yang sebenarnya sambil berseri-seri,


"Aku senang mendengarnya.  Aku-"


"Hei, ayo cepat, busnya datang!"


Pada saat itu, Seira memanggil mereka dengan nada ceria.


Sepertinya mereka akan naik bus setengah jalan untuk pulang.  Katanya bus di pedesaan itu jarang ada, dan akan lebih baik jika tidak ketinggalan...


"Iya, aku ke sana."


Setelah menjawab, Yamato bertanya pada Tsubaki, "Bagaimana kalau kita pergi sekarang?" dan dia pun segera pergi.


Bus tiba tepat ketika mereka mencapai halte bus, yang terletak tepat melewati properti pribadi keluarga Shirase.


Bus itu agak sepi, jadi mereka duduk berdampingan di bagian paling belakang.


Beberapa saat setelah sampai di bus.

Tepat saat Yamato hendak tertidur karena kelelahan, Tsubaki menepuk pundaknya.


"Hmm? Ada apa?"


Ketika Yamato memaksa dirinya untuk bangun dan menjawab, Tsubaki berkata dengan nada menyesal.


"Maaf, aku membangunkanmu ya?"


"Tidak kok."


"Baguslah. -Sebenarnya, aku ingin tukaran kontak."


"Oh, begitu," Yamato mengangguk berulang kali dan memasukkan tangannya ke dalam saku.


Tetapi karena tangannya gemetar, dia tidak bisa mengeluarkan ponselnya dengan benar.


Sederhananya, dia terkejut bahwa seorang gadis cantik meminta tukaran kontak dengannya.


Kebetulan, Seira sedang tidur nyenyak di sebelah Tsubaki.  Dia terlihat sangat nyaman.


"Kenapa?"


"Tidak, cuma ini ponselku-oke."


Yamato akhirnya mengeluarkannya, dan mereka bertukar kontak.


"Terima kasih banyak.  Tolong berteman baik denganku, lagi."


Tsubaki berkata sambil tersenyum.


Meskipun dia tampak ramah selama mereka berbicara seperti ini, Yamato tidak bisa membaca perasaannya yang sebenarnya.


Tidak lama kemudian, bus pun tiba di stasiun.


Butuh beberapa upaya untuk membangunkan Seira, yang tertidur lelap, tapi akhirnya dia berhasil turun dari bus dan naik kereta.


Saat itu, matahari sudah terbenam dan diperkirakan hari sudah malam saat mereka mencapai tujuan mereka.


Selama perjalanan kereta, tidak ada percakapan, mungkin karena kelelahan.


Setelah berganti kereta beberapa kali, mereka pun harus berpisah dengan Tsubaki di tengah jalan.


"Kalau begitu aku akan pergi dari sini."


"Oke, hati-hati ya."


Tsubaki turun dari kereta, berbalik seolah mengingat sesuatu, dan berkata.


"Terima kasih banyak untuk keduanya.  Seira-senpai dan Kuraki-senpai, aku akan menghubungi kalian."


Dengan kata-kata terakhir itu, Tsubaki melambaikan tangannya sambil tersenyum pada mereka.


Kereta berangkat seolah-olah dia melihatnya pergi.


"Apa tadi kalian berdua tukaran kontak?"


Seira bertanya dengan ekspresi kosong, mungkin karena Tsubaki meninggalkan kata-katanya dengan cara yang jelas menyiratkan bahwa mereka telah bertukar kontak.


Yamato mengangguk, merasa canggung, meskipun dia tidak merasa punya salah.


"Begitu ya.  Kalian berdua sudah menjadi teman baik rupanya."


"Y-Yah, kami kan sudah bersama-sama selama dua hari penuh."


"Ya, itu benar."


Seira menjawab dengan santai.


Lagi pula, sulit bagi Yamato untuk mengetahui apa yang dia pikirkan di saat seperti ini.


Dia memutuskan untuk membicarakan hal lain untuk sekarang.


"Lagi pula, aku lelah.  Kita beruntung bisa duduk.  Kakiku sakit dan otot-ototku sudah lama menyerah."


"Betul.  Aku harus memijatnya dengan benar, atau mereka akan tetap terasa sakit."


"Aku akan melakukannya setelah mandi nanti."


Yamato mengubah topik pembicaraan dengan agak memaksa, tapi Seira tampaknya tidak terlalu peduli.


Dengan lega, Yamato secara alami melanjutkan pembicaraan.


"Oh iya, aku tidak punya apa-apa karena dua hari terakhir ini... Aku baru saja memulai liburan musim panasku, dan sekarang aku harus mulai dengan mencari pekerjaan harian..."


"Heh, kau ingin mencari pekerjaan paruh waktu?"


Seira menatap Yamato dengan rasa ingin tahu.


Untuk beberapa alasan, Yamato memiliki firasat buruk dan memalingkan wajahnya.


"Ya.  Aku belum memutuskan dimana aku ingin bekerja, tapi aku punya beberapa ide."


"Kedengarannya menarik.  Mungkin aku akan mencobanya denganmu."


"Apa?"


Yamato menoleh ke belakang dan matanya bertemu dengan mata Seira dari jarak dekat, yang agak kecokelatan masih sangat cantik seperti biasanya, dan Yamato tidak bisa menahan diri untuk tidak mengalihkan pandangannya.


"K-Kau bercanda,kan? Kebanyakan kerja harian adalah kerja yang sulit."


"Hmm, tapi kupikir rasanya akan menyenangkan dengan Yamato."


Seira tersenyum padanya. Sepertinya dia sudah termotivasi untuk melakukannya.


-Dia selalu siap untuk melakukan apa pun yang dia anggap menarik.


Ini mungkin tampak sederhana, tapi bagi Yamato, ini adalah rintangan yang sangat tinggi untuk diatasi.


Bagaimanapun juga , Yamato pertama-tama menghitung risiko dan pengembaliannya.  Selain itu, pemikiran negatifnya membuatnya lambat untuk mengambil tindakan karena prediksinya tentang hal-hal yang akan berubah menjadi lebih buruk.


Sebaliknya, Seira aktif dan lugas.


Aspek dirinya inilah yang Yamato kagumi,


"Di satu sisi, aku mengagumi bagian dari dirimu yang ini, Shirase."


"Terima kasih.  Aku juga sangat menyukai bagian dari diriku ini, jadi aku senang."


Kejujuran Shirase seperti ini disebut tidak ada salahnya.


Dalam hal itu, pikir Yamato, julukan "Saint" tidaklah jauh dari sasaran.


"Kalau begitu, aku akan mengirimkan tautan ke agen sementara tempatku  terdaftar.  Kita akan memutuskan bersama pekerjaan mana yang harus dilakukan nanti."


Ini adalah pekerjaan paruh waktu pertama dalam hidupnya.


Pada awalnya, Yamato berencana untuk memulai sendiri, tapi bohong jika dia bilang dia tidak merasa cemas.


Itulah mengapa memiliki Seira bersamanya itu meyakinkan.


Tapi itu juga akan menjadi sumber kecemasan baru.


"Yah, apapun yang terjadi, biarlah terjadi."


"Tidak, aku sedang berbicara dengan diriku sendiri."


Sampai beberapa menit yang lalu, Yamato mengkhawatirkan Tsubaki, tapi sekarang dia mendapati dirinya sendiri memikirkan masa depan.


Aneh, pikir Yamato tulus, karena berbicara dengan Seira membuatnya menantikan kedatangan besok.