Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Si Cupu Rupanya Suhu [Vol 1 Chapter 1.4]

The Asocial Guy Who Gets Pushed Around Is Actually The Strongest Bahasa Indonesia




Chapter 1.4: Apa Yang Terjadi Pada Pria Asosial Itu?


[POV Akira]


"Hei, Akira, cepatlah."


Saat aku sedang memakai sepatuku di pintu masuk, Den, yang sudah selesai memakai sepatunya, menyuruhku dengan tidak sabaran.


"Oh, maaf..." aku meminta maaf kepada Den dan berdiri dengan empat tas di tanganku.


Tiga orang gadis, yang sedang mengobrol di depan pintu, langsung melarikan diri dengan tergesa-gesa saat melihat trio idiot.


Jika aku sedang bersama dengan Den, Kyu, dan Non, semua orang akan menghindariku.  Itu karena trio idiot sangat ditakuti oleh semua orang.


Mungkin karena aku sering bersama dengan ketiga orang ini, jadi semakin banyak orang langsung kabur saat melihatku ...... bahkan ketika aku hanya sendirian.


Yah, aku bukanlah tipe orang yang suka terlibat dengan orang lain sejak awal, jadi tidak masalah jika orang-orang mulai menghindariku.


Apakah aku bersama atau tidak bersama dengan trio idiot, aku yakin aku pasti akan tetap berakhir seperti ini.  Tidak ada yang akan berubah.


Beberapa saat setelah meninggalkan gerbang sekolah, "Usui-kun!" namaku dipanggil.


Aku berhenti dan berbalik, ketika Otsuki, si ketua kelas, berlari ke arahku.


Mungkin karena dia sudah berlari begitu lama, jadi dia tampak kehabisan napas.


"Usui-kun, hei, aku ingin kamu mengatakannya dengan jelas!  Apakah kamu tidak benci saat disuruh-suruh oleh trio idiot itu?!"


Ketua kelas mengatakannya terlalu keras, sehingga trio idiot yang berjalan di depanku berhenti dan berbalik.


"Kau lagi, ketua kelas..."  kata Den dengan ekspresi tidak senang.


"Jika kamu tidak menyukainya, kupikir kamu seharusnya mengatakannya dengan jelas!  Jika tidak, kamu akan menjadi pesuruh selama masa SMA-mu!"  kata ketua kelas dengan tatapan serius padaku.


Matanya berkaca-kaca hingga aku tidak mampu untuk membalas tatapannya.


Seorang gadis yang selalu bekerja keras dan berterus terang.  Itulah gambaranku tentang ketua kelas.


Dia merawat semua teman sekelasnya dan menerima setiap tugas dari gurunya.  Dia mencoba bergaul dengan semua orang, tapi mereka semua menghindarinya ... sama sepertiku.


Aku yakin ketua kelas pasti lebih dewasa secara mental daripada murid yang lain.


Kata "Aku mengkhawatirkanmu, Usui-kun." dengan jelas tertulis di wajah ketua kelas.


"Oh, itu terlalu merepotkan!  Akira tidak akan mengatakan apa pun padamu!  Kau terlalu mencampuri urusan kami!"


Den mendekat dan berteriak pada ketua kelas.


"Aku bertanya pada Usui-kun!  Bukan kamu!"


"Apa?!"  Den berteriak saat ketua kelas melawan kata-katanya.


Itu adalah one touch and go, atau sesuatu yang mirip seperti itu.


"Y-Yah, aku baik-baik saja."  jawabku, yang kuharap bisa membuat ketua kelas merasa puas, tapi dia tampaknya tidak setuju.


"Kupikir lebih baik bagimu untuk tidak berpaling dari rasa sakit dan penderitaanmu sendiri!  Mari kita membicarakannya dengan guru!  Memang tidak selalu berhasil jika kita membicarakannya dengan guru, tetapi hal-hal mungkin akan berubah jika kita melakukannya!"


Gawat.  Den terlihat muram saat mendengar kata-kata ketua kelas.  Jika ini terus berlarut-larut, kupikir Den pasti akan melakukan sesuatu pada ketua kelas ...... aku harus menghindarinya agar hal itu tidak terjadi.


Kekerasan dari Yankee jelas menakutkan.  Jadi aku ingin mengakhiri percakapannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jadi aku berkata pada ketua kelas,


"Jangan mengkhawatirkanku.  Tolong tinggalkan aku sendiri."


Aku ingin membuatnya merasa lebih baik.  Tetapi ketika dia mendengar jawaban dariku, ketua kelas tampak sedih.


'Astaga.  Apakah kata-kataku terlalu menyakitinya?'


Aku mencoba untuk mencari kata-kata lain untuk diucapkan.  Tapi, aku tidak bisa memikirkan apa pun.


Pertama-tama, aku tidak mengerti mengapa apa yang kukatakan barusan bisa membuat ketua kelas merasa sedih.  Dan ketika aku sedang kebingungan, ketua tertawa sedih.


"Maaf ... itu pasti karena aku tidak bisa diandalkan, bukan?  Sampai jumpa besok." kata ketua sambil melarikan diri.


Dia bahkan tidak melihat ke arah trio idiot, melainkan membelakangi mereka dan berlari menjauh.


Aku hanya bisa berdiri di sana tanpa bisa mengatakan apa-apa.  Hatiku kacau dan aku merasa jijik pada diriku sendiri.


"Hei, ayo pergi."


Seolah tidak terjadi apa-apa, Den mulai berjalan lagi saat menyuruhku, dan kemudian tertawa dengan Kyu dan Non, saat mereka mengolok-olok ketua kelas.


Tapi kekeruhan di dalam diriku masih belum hilang.  Sebaliknya, aku malah menjadi makin kacau ketika aku mendengar ketiganya menertawakan ketua kelas.


Ekspresi ketua kelas membekas di dalam hatiku.


Apakah ini disebabkan oleh ketua kelas?  Tidak.  Itu disebabkan oleh diriku sendiri karena telah membuat ketua kelas sampai mengeluarkan ekspresi seperti itu.


Mengapa aku bisa menjadi begitu frustrasi dengan diriku sendiri?  Bukankah aneh kalau aku marah pada diriku sendiri?


Aku tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang kuajukan pada diriku sendiri.


Aku merasa agak kehilangan kontak dengan diriku sendiri karena telah bersikap acuh dan lambat dalam merespons.


***


[POV Shizuka]


Pada sore hari berikutnya, yang harus kulakukan hanyalah pulang dan meninggalkan teman-teman sekelasku yang sedang bersemangat dan ceria di dalam kelas.


Namun, berbeda dengan teman sekelasku yang ceria, perasaanku justru depresi.


Aku tidak memiliki pelajaran tertentu yang tidak kusukai, aku juga tidak lupa mengerjakan PR.  Tapi entah kenapa, aku hanya ingin meninggalkan sekolah lebih awal hari ini, maka dari itu aku berniat pulang lebih awal.


Beberapa teman sekelas menyeringai di depanku secara diagonal,


"Kamu pasti menyukai Usui, bukan?"


"Huh?  Maksudmu orang yang membosankan itu?  Bukankah kalian salah paham?  Bukankah itu hanya karena dia suka berbicara dengan orang lain?"


"Kamu benar, dia sangat mengganggu, bukan?"


"Tidak, tidak, dia sangat keras kepala karena dia menyukainya, bukan?"


Rupanya, mereka melihatku sedang berkelahi dengan trio idiot kemarin.  Dan mereka sepertinya berpikir bahwa alasanku mengkhawatirkan Usui-kun adalah karena aku menyukainya sebagai lawan jenis.


Gadis-gadis di kelas, selalu saja seperti ini sepanjang hari, membuat spekulasi acak kapan pun di saat mereka punya waktu, dan mereka menggali sesuatu yang tidak ingin orang lain umbar.


Ini bukanlah masalah bagiku jika mereka hanya mengatakannya saja.  Tapi, ini menjadi jauh lebih sulit bagiku untuk menahannya karena mereka sambil menyeringai padaku.


'Alasanku mengkhawatirkan Usui-kun adalah karena aku ketua kelas, oke?!'


Tidak peduli seberapa keras aku mencobanya, telepatiku tetap tidak berhasil.


Mengapa guru bahkan para gal ini menyalahartikan niatku yang sebenarnya menjadi karena perasaan suka?


Aku menghela nafas, dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa.  Aku menahannya dalam diam karena aku tidak ingin teman sekelasku membenciku karena berdebat menentangnya.


Lagi pula, mereka memang tidak menyukaiku ... aku yakin mereka pasti akan diributkan dengan topik lain yang sama sekali berbeda pada keesokan harinya.  Intinya, aku hanya ingin menyelesaikan hari ini secepatnya.


Kemudian, guru akhirnya masuk ke dalam kelas. Dan dia dengan cepat mengumumkan jadwal untuk besok, dan mengatakan,


"Besok, pohon di belakang gedung sekolah akan ditebang, jadi kontraktor akan masuk ke area sekolah.  Truknya akan keluar masuk, jadi harap berhati-hati.  Itu saja untuk besok."


Itu tidak penting.  Aku merasa malas saat berpikir bahwa aku akan terus berdiam diri di ruang kelas yang tidak menyenangkan ini sambil mendengarkan rumor-rumor itu.


'Ayo pulang lebih awal.'


Kemudian,  aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan langsung meninggalkan kelas dengan tas di tanganku.


Aku tidak ingin mengurus siapa pun lagi hari ini.  Aku ingin meninggalkan teman sekelas dan para guru sebelum ada yang memintaku untuk melakukan sesuatu.


"Eh, Shizuka!  Kamu mau pulang?”


Saat aku keluar ke lorong, aku bertemu dengan Hiromi, yang baru saja keluar dari kelas sebelah.


Aku merasa agak segar saat melihat senyuman sahabatku.


Tapi mataku tiba-tiba tertuju pada tangan kanan Hiromi.