Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidak Ada Yang Percaya Padaku [Chapter 61]

No One Believed Me. If You Say You Believe Me Now, It’s Too Late Bahasa Indonesia




Chapter 61: Bus dan Saito 


Menaiki bus untuk acara sekolah.


Ini adalah tindakan yang sangat tidak kusukai.  Saat SD maupun SMP, aku hanya membaca buku atau melihat-lihat pemandangan di luar.


Banyak murid dijejalkan ke dalam dunia yang bahkan jauh lebih kecil daripada ruang kelas.


Anri dan aku adalah murid terakhir yang naik bus.


Tatapan dari teman sekelas kami menusuk kami.  ......Dulu, aku benci cara mereka menatapku.


Aku memang berpura-pura untuk tidak mempedulikannya, tapi sebenarnya aku merasa terisolasi, kesepian, sedih dan aku membencinya…….


Aku dan Anri masih berpegangan tangan.


Untuk beberapa alasan, kata-kata Sensei dari sebelumnya tetap tinggal di dalam pikiranku.  Jujur pada diri sendiri, huh?


Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.


Ketika aku masih di SMP, aku berpikir bahwa hidup adalah keberadaan yang sangat membosankan.


Mungkin itu terjadi pada forest school di mana aku mulai menulis novel.


Itu adalah masa SMP yang mengerikan.  Melihat kembali ke masa itu sekarang, kupikir aku sudah berhasil menghadapinya.  Aku berpaling dari teman-teman sekelasku.  Dan tidak melihat mereka.


Duduk di depan teman-teman sekelasku, mataku bertemu dengan mata mereka.


Ketika aku melihatnya dengan benar, aku melihat bahwa tidak ada satu pun orang yang melihat kami layaknya kami adalah orang idiot.


Sebaliknya, beberapa dari mereka melambai dan menyapa kami.


“Osuu, Shinjo, kau terlambat!  Maksudku, sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu di hari terakhir sekolah!  Apa kabar?  Kau duduk di sebelahku, kan?  Ayo kita mainkan game papan!”


Yamada memegang game papan di tangannya.  ...... Kau membawa benda itu?  Orang ini benar-benar bodoh.


Sungguh bodoh……


Apa yang kukatakan?  Ini adalah interaksi normal di antara teman sekelas.


Aku bertanya-tanya, butuh waktu berapa lama bagiku untuk sampai di titik ini?


Tanpa Anri, aku pasti akan tetap berada di dalam kegelapan untuk waktu yang lama.  Aku tidak akan pernah membuka hatiku untuk siapa pun.


Anri berbisik padaku.


“Makoto, aku duduk di sebelah Tanaka-san, …… jadi kita bisa langsung bersama ketika kita sudah tiba.”


“Tidak, itu tidak perlu.  Yamada, kemarilah sebentar.”


Tentu saja, Yamada sedikit terkejut saat aku mendekatinya.


“Eh, oh, apa aku melakukan kesalahan?! A-Apa kau punya dendam padaku saat aku berpura-pura bodoh beberapa waktu lalu!”


Aku menghela nafas ringan dan mendekati Yamada.  Lalu aku meraih kerah Yamada dan membuatnya berdiri.


“……Bertukar tempat duduklah dengan Anri.  Dengan begitu, kau jadi bisa duduk dengan Tanaka-san juga, oke?”


Yamada mengangguk, dan sedikit malu saat mendengar kata-kataku.  Tapi kakinya sudah menuju ke arah Tanaka.


“O-Ou!  B-Bukannya aku senang tentang ini, oke!  Aku sangat mudah sakit, jadi akan lebih baik jika aku duduk di depan!  Tidak ada yang bisa kulakukan, Tanaka!  Kawan, ayo kita lakukan itu!"


Tanaka-san mengecil dan menyusut.  Tapi meski begitu, dia terlihat bahagia.


Orang-orang di sekitar mereka memandang mereka dengan hangat.


“Anri, mereka itu belum berkencan?”


"Ya, sepertinya begitu.  Ah, sepertinya guru akan memeriksa daftar kehadiran, jadi kita harus duduk juga!”


Kami meletakkan barang bawaan kami dan duduk bersebelahan.


Bus menjadi sunyi ketika guru mulai memeriksa kehadiran.


Ini seperti di ruang kelas.


Pemeriksaan kehadiran selesai dan bus mulai berangkat.


Aku memperhatikan bahwa Saito-san, yang duduk di depanku, setengah berdiri dengan wajahnya yang menghadap ke arahku.


Dibandingkan dengan sebelumnya, dia terlihat jauh lebih tenang.  Aku bertanya-tanya sudah berapa lama kami tidak berbicara?


Ngomong-ngomong, Haruka memberitahuku bahwa Saito-san dan Miyazaki telah menyangkal rumor buruk tentangku.


Meskipun tidak ada yang meminta mereka untuk melakukannya.


"Shinjo-kun, kurasa kamu tidak boleh berbicara mewakili orang lain dari sudut pandang Miyu~  Kamu dan Shinozuka-san sangat dekat!  Aku senang ……. pastikan bahwa kalian berdua saling membahagiakan, oke.”


"K-Kami tidak berkencan!"


Anri berteriak dengan suara kecil di sampingku, dan wajahnya memerah.


Jika itu aku yang sebelumnya, aku pasti akan mengabaikan percakapan itu.  Aku tidak berpikir bahwa aku bisa merasakan perubahan nada bicara Saito-san.  Taoi Saito-san mundur selangkah dari kami.  Dan dia mencoba membangun tembok di antara kami.


Kupikir aku tidak akan pernah terlibat dengan Saito-san lagi.


Tapi itu bukan cara yang baik untuk move-on.


Ini berbeda dari kasus Nanako.  Ini juga berbeda dari kasus Haruka.


Saat aku mengingat apa yang terjadi dengan Saito-san, hatiku dipenuhi dengan beban.


Aku sangat menikmati waktu yang telah kami habiskan di perpustakaan ketika SMP.


Jadi aku sangat terkejut bahwa dia tidak mempercayaiku, dan hal itu masih menghantuiku.


Aku tahu kalau waktu yang kami habis kan bersama tidak selama ketika aku bersama Miyazaki, tapi dialah satu-satunya orang yang tersenyum dan menghabiskan waktunya bersamaku di saat tidak ada satu pun yang mempercayaiku.


Saat aku tidak bisa menjawabnya, Saito-san tersenyum pahit, seolah-olah dia kesal padaku.


Tidak heran jika dia menyalahkan dirinya sendiri.  Aku tidak bisa apa-apa selain merasa bahwa akulah yang seharusnya disalahkan.


“Ehehe, maaf mengganggumu.  Miyu akan pindah ke sana.”


"Saito-san."


“S-Shinjo-kun?”


Di dalam bus, teman sekelas membuat keributan.


Saat aku memanggil nama Saito-san, ingatan nostalgia melintas kembali di dalam pikiranku.


Dia memanggilku Shinjo-kun, dan kenangan saat di perpustakaan menusuk hatiku.


Sakit, sakit sekali.  Hari-hari yang damai berubah dalam sekejap, dan aku dipandang dengan ketakutan oleh orang-orang yang sedang kucoba untuk lindungi.  Aku dibombardir dengan kata-kata yang tidak dapat dibenarkan dari para murid yang bahkan tidak kukenal dengan baik.


Aku takut.  Kupikir jika aku menutup hatiku, aku tidak akan merasakan apa-apa.


–Mengapa kamu tidak menyangkalnya saat itu?


Kata-kata itu tidak ada artinya.


Karena kami hanyalah anak-anak yang belum dewasa.


Aku bukanlah satu-satunya orang yang telah terluka.  Seberapa dingin perasaan Saito-san saat kami memasuki sekolah ini?  Apa pun alasannya, dia mencoba mendekatiku saat aku sedang merajuk.  Dan aku dengan dingin menolaknya.


"Saito-san."


Aku memanggil nama Saito-san sekali lagi.


“Eh, y-ya.”


"Saito-san ...... apa kau masih suka membaca buku, bahkan sampai sekarang?"


“Ya, …… aku masih menyukainya.”


"Begitu."


Suasana dan jeda yang hanya bisa aku dan Saito-san pahami.  Kami merasa seperti kembali ke masa lalu.


Aku belum sekalipun melihat Saito-san dengan baik sampai sekarang.


Aku menganggapnya sebagai seseorang yang tidak ada, meskipun kami berada di kelas yang sama.


–Aku hanya tidak memiliki keberanian.


Biarkan kata-kata itu terukir di dalam hatiku.  Tatap matanya dan bicaralah dengannya.  Aku telah menghabiskan banyak waktu dengan Anri, jadi aku mengerti itu.


Aku tahu betapa khawatirnya dirimu tentangku.  Seberapa banyak penyesalan dan rasa bersalah yang kau rasakan.


“Shinjo-kun, buku ini sangat menarik, tolong dibaca!  Beri tahu aku apa yang kamu pikirkan setelah selesai membacanya!”

[TL: Ini dialog flashback ketika SMP.]


Percakapan terakhir yang kulakukan dengan Saito-san di SMP.


Kupikir Saito-san telah berubah sejak saat itu.


Tapi, gadis kutu buku yang, cengeng dan cemas yang berdiri di depanku ini ...... adalah Saito-san pada saat itu.


“———Aku akan memberitahumu apa yang kupikirkan tentang buku itu …… lain kali.”


Aku menatap mata Saito-san dan berkata demikian.


Aku tidak berniat untuk mengabaikan buku itu.  Karena itu sudah lama sekali.


Tapi mata Saito-san hampir meneteskan air mata.


"Tapi Miyu tidak bisa……, aku tidak bisa terlibat …… denganmu lagi.”


Anri mengeluarkan saputangan dan menyerahkannya pada Saito-san.


Teman sekelas di sekitar kami membuat banyak keributan, tanpa mempedulikan kami.  Tidak, mereka berhati-hati untuk tidak memedulikan kami.


“Aku tidak tahu lagi.  …….. Tapi, aku sudah baik-baik saja sekarang.”


Dia menatap tajam ke arah Anri.  Dan dia membalasnya dengan tersenyum lembut.


Anri adalah orang tercintaku yang berharga, yang telah menyembuhkanku dan sangat peduli padaku.


Ini berbeda dari masa laluku.  Belum ada yang terlambat—