Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pernyataan Selamat Tinggal [Vol 1 Chapter 4.7]

Goodbye Declaration Bahasa Indonesia


Chapter 4.7: Festival Seiran


“Woah!”


Sekarang adalah kelas olahraga periode kedua.  Kami sedang bermain sepak bola bersama dengan kelas Shuuichi.


Aku berpartisipasi dalam mini-game, tetapi aku menendang bolanya sekeras yang kubisa ketika bola itu dioper kepadaku, dan kemudian aku terjatuh ke belakang dengan sangat keras.


"Ouch, aku melukai pinggulku..."


"Kakeru, kau baik-baik saja?"


Aku sedang memegang pinggangku sendiri ketika aku mendengar suara panik di atasku.


Aku mendongak untuk melihat Shuuichi dengan seragam olahraganya sedang mengulurkan tangannya kepadaku.


Dia adalah anggota tim musuh.


"Terima kasih."


"Tidak, tidak, sama-sama."


Setelah percakapan ini, Shuuichi membantuku untuk duduk.


“Bagaimana mungkin Kakeru, yang sangat pandai dalam segala hal, mulai dari belajar hingga olahraga, bisa gagal dalam menendang bola?”


"Tunggu sebentar.  Apa yang kau maksud dengan 'pandai dalam segala hal'?  Apa kau mengolok-olokku?”


"Tidak, tidak, itu pujian terbaik yang bisa kuberikan padamu."


Tapi Shuuichi menyeringai padaku.  Jadi kau memang mengolok-olokku, huh…


Saat kami bertukar omong kosong seperti itu, peluit berbunyi untuk mengakhiri pertandingannya.


Tim yang kubela kalah telak.


Setelah pertandingan selesai, tim Shuuichi dan timku beristirahat.


Kali ini, kami duduk di bangku di lapangan sementara tim lain bermain.


"Terus, ada apa?"


Shuuichi bertanya dari sebelahku.


“Kenapa kau menanyakan itu padaku?”


"Kau bertingkah aneh sepanjang pertandingan"


"Benarkah?  Kurasa tidak.”


“Iya, kurasa kau memang begitu."


Shuuichi meyakinkanku dan terus bertanya.


"Apa yang mengganggumu?"


Aku tidak yakin bagaimana cara menjawab pertanyaan itu.


Aku tidak ingin membicarakan kekhawatiranku tentang mimpiku sendiri dengan orang lain.


Tetapi apakah aku dapat menemukan impianku jika aku hanya memikirkannya sendirian?


Setelah beberapa keraguan, aku memutuskan untuk mengajukan pertanyaan kepada Shuuichi.


"Maaf jika terlalu mendadak, tapi apa kau punya mimpi, Shuuichi?"


“Itu sangat tiba-tiba.  Mimpiku itu…"


Shuuichi tampak sedikit bingung.


Mari kita coba mendengarkan apa mimpi dari orang lain.  Mungkin itu akan membantuku.


Saat aku menunggu jawabannya, Shuuichi memberiku jawaban yang mengejutkan.


"Aku benar-benar tidak punya mimpi.  Aku bahkan tidak pernah memikirkannya.”


"…Apakah itu benar?"


"Ya.  Ketika aku masih kecil, aku bermimpi ingin menjadi pesepak bola, tapi itu adalah mimpi yang hanya bisa kumiliki ketika aku masih kecil.  Kupikir tidak ada banyak orang di SMA yang sudah memiliki mimpi yang jelas.”


Shuuichi mengatakannya dengan jelas.


Dia mungkin ada benarnya.


Aku telah menghabiskan banyak waktu dengan Nanase selama beberapa bulan terakhir, dan aku merasa dekat dengannya, jadi aku berpikir kalau semua orang pasti punya mimpi.


Kalau dipikir-pikir, tidak banyak murid SMA seperti Nanase yang bercita-cita menjadi aktris Hollywood, bergabung dengan perusahaan teater, atau semacamnya, dan bekerja keras untuk menggapai mimpi itu.


"Jadi, kebanyakan dari mereka hanya kuliah dan bekerja.  Dan begitupun aku."


"…Kau benar."


Aku mengerti apa yang dikatakan Shuuichi.


Karena belum lama ini, aku memikirkan hal yang sama persis seperti yang dia pikirkan.


…Tapi ketika aku mengenal Nanase, sepertinya hal itu hanya sia-sia bagiku.


Adalah hal yang indah untuk memiliki mimpi, dan menjalani hidup untuk mengejar mimpi tersebut.


“…!”


Saat itu, aku mendapat ide.


Jika mayoritas murid SMA tidak memiliki mimpi dan menjalani hidup tanpa tujuan apa pun.


Maka akan lebih baik jika aku dapat mendukung mereka untuk mencegah hal seperti itu terjadi.


Aku dulu sama seperti kebanyakan dari mereka.


Itu sebabnya aku yakin bahwa aku bisa menggapai mereka, sebagian besar murid SMA, yang tidak memiliki mimpi apa pun.


"Begitu..."


“...?  Ada apa, Kakeru?”


"Shuuichi, terima kasih."


"Tidak, serius, ada apa?"


Shuuichi bertanya dengan nada yang terdengar seperti dia bertanya-tanya apakah aku sudah kehilangan akal sehatku?


"Shuuichi telah memecahkan masalahku."


"Serius?  Yah, aku senang mendengarnya.”


"Kupikir aku akan bisa mencatatkan hattrick di pertandingan berikutnya.”


"Tidak, itu tidak mungkin."


Shuuichi menggelengkan kepalanya, tapi moodku sedang tinggi-tingginya.


Kemudian, pertandingan berikutnya dimulai.


Dalam 10 pertama pertandingan, sebuah bola yang ditendang oleh tim lawan langsung mengenai wajahku, dan aku terpaksa dikeluarkan dari lapangan.


Aku tidak akan pernah bermain sepak bola lagi di masa depan.


***


"Mungkin aku harus bertindak lebih flamboyan ketika aku mengatakan dialog ini."


Sekarang jam makan siang dan aku sedang makan siang di ruang kelas kosong di gedung sekolah lama.


Di sebelahku, Nanase sedang memeriksa naskah drama mendatang yang akan ditampilkan di “Yunagi”.


Sejak audisi Juliet, aku tidak pernah membantu Nanase melatih aktingnya lagi.


Dia tidak perlu lagi berlatih setelah audisi, dan dia mengatakan kepadaku sejak lama bahwa dia tidak membutuhkanku untuk membantunya berlatih untuk drama yang dibawakan oleh “Yunagi”.


Dan karena hubunganku dengan Akutsu telah membaik, jadi aku dapat makan siang di kelas, tetapi aku masih saja menghabiskan waktu istirahat makan siangku di ruang kelas yang kosong ini.


Alasannya sederhana, karena aku senang menghabiskan waktuku bersama Nanase.


Selain itu, aku punya sesuatu untuk dikatakan padanya hari ini.


"Nanase, apa kau punya waktu sebentar?"


Tanyaku sedikit gugup.


"Ya, tentu~”


Nanase dengan senang hati menerimaku.


Kemudian dia meletakkan naskahnua di atas meja.


"Jadi?  Apa kamu ingin aku melakukan sesuatu untukmu?"


"Tidak, aku tidak punya permintaan untuk kuminta darimu.  Aku punya ... laporan yang harus kukatakan.”


"Laporan…?"


Nanase memiringkan kepalanya.


Tapi segera setelahnya, dia sepertinya memikirkan sesuatu.


"Mungkinkah itu tentang kamu yang menangkap bola menggunakan wajahmu saat pertandingan sepak bola di PE?”


“Bukan itu!  Juga, bagaimana kau mengetahuinya?!”


"Karena para gadis juga memiliki kelas olahraga di lapangan.  Kami melakukan lompat jauh."


“…B-Benarkah?”


Aku tidak percaya jika mereka melihatku saat aku sedang terlihat begitu memalukan.


Aku sangat malu hingga aku merasa ingin mati ...


“Asal tahu saja, bukan itu laporan yang ingin kukatakan.”


"Bukan itu?"


"Tidak, sebaliknya, mengapa menurutmu begitu?"


Kataku sambil menghela nafas.


Lalu aku berdeham dan berbicara dengannya lagi.


“Yang ingin kulaporkan padamu adalah, umm … tentang mimpiku.”


Saat aku mengatakannya, Nanase membeku dengan mulut ternganga.


Aku khawatir jika dia tidak mendengarku.


“Selamat, Kiritani-kun!”


Nanase tiba-tiba memberi selamat kepadaku dengan senyum lebar.


Aku tidak tahu apakah menemukan mimpi adalah sesuatu yang harus dirayakan, tetapi sejujurnya aku senang saat dia mengatakannya.


“Lalu, aku tanya padamu, apa mimpimu?”


Nanase bertanya padaku dengan penuh semangat.


Mimpiku tidak sebesar miliknya, jadi kuharap dia tidak terlalu berharap terlalu tinggi pada mimpiku….


Lalu aku mengungkapkan mimpiku pada Nanase.



"Aku ingin menjadi guru SMA."


Saat aku mengatakan itu padanya, Nanase terlihat sedikit terkejut, lalu mulutnya sedikit rileks.


"Guru SMA..."


"U-Umm … bagaimana?”


"Hmm?  Bagaimana apanya?"


“Yah … bagaimana menurutmu?”


Sejujurnya, aku merasa puas dengan mimpiku ini, atau lebih tepatnya ... kupikir itu cocok untukku.


Itu sebabnya aku menginginkan kata-kata yang sama dari Nanase, yang membuatku ingin merangkul mimpiku.


Tapi dia malah...


“Aku tidak punya pendapat apa-apa tentang itu.  Karena itu adalah mimpimu, Kiritani-kun.”


"Eh ... ya, ya, ya, tapi..."


Apa yang dikatakan Nanase benar.


Apa pendapatku tentang mimpi orang lain?  Aku tidak tahu apa yang kupikirkan tentang mimpi orang lain juga.


Tapi tetap saja, aku berharap Nanase mengatakan sesuatu padaku.


“Tetapi apakah mimpi itu akan menjadi mimpi yang baik atau buruk, itu tergantung padamu di masa depan, bukan?”


Nanase berkata dan tersenyum padaku.


Setidaknya dia sepertinya tidak memiliki sesuatu yang negatif untuk dikatakan tentang mimpiku.


Yang membuatku merasa sedikit lebih percaya diri tentang mimpiku sendiri.


"Tapi kenapa harus guru SMA?"


Nanase bertanya padaku dengan rasa ingin tahu.


“Itu karena para murid SMA mungkin adalah orang-orang yang paling banyak menghabiskan waktu untuk menyerah pada mimpi mereka.”


Ketika aku mendengar cerita Shuuichi, aku berpikir...


Sebagian besar murid SMA tidak memiliki mimpi.


Tapi aku yakin mereka pasti punya mimpi ketika mereka masih kecil.


Namun, saat mereka tumbuh sedikit demi sedikit, mereka mulai melihat kenyataan dan melepaskan mimpi mereka masing-masing.


Sulit bagi mereka untuk memiliki mimpi lagi setelah dihadapkan dengan kenyataan yang mungkin menyakitkan bagi mereka.


Oleh karena itu, tanpa memiliki mimpi, mereka hanya akan kuliah dan mencari pekerjaan.


Aku ingin menyelamatkan para murid SMA yang seperti itu.


Sama seperti Nanase yang membuatku ingin bermimpi, aku juga ingin membantu orang lain menemukan mimpinya sendiri.


Itu sebabnya aku ingin menjadi guru SMA.


Ketika aku memberi tahu Nanase alasannya, dia berkata,


"Itu alasan yang sangat bagus!"


“B-Begitukah…?”


"Ya!  Menurutku begitu!"


Mendengar kata-kata itu, aku merasakan kehangatan di dadaku.


Sejujurnya, skala mimpinya itu begitu besar sehingga aku sedikit khawatir jika dia akan mengatakan kalau mimpiku itu konyol.


“Kalau begitu, kita harus bekerja keras!”


"Ya, kau benar.  Untuk menjadi guru, aku harus kuliah di Universitas Pendidikan, jadi untuk saat ini, aku harus belajar dengan giat.”


"Begitu.  …Itu pasti sulit."


"Aku tidak berpikir kalau itu akan sesulit mimpi Nanase, karena kau harus bersekolah dan juga tampil di perusahaan teater."


Tentu itu akan jauh lebih sulit bagi Nanase daripada bagiku.


“Um, Kiritani-kun.  Sebenarnya…"


"…Apa?"


Ketika aku mendengar kata-kata Nanase, aku bertanya kembali padanya.


Tapi dia berhenti berbicara dan tidak melanjutkan kata-katanya.


"Ada apa?"


Tanyaku lagi, karena penasaran dengan tingkahnya yang aneh.


"Tidak, tidak apa-apa."


Dia menggelengkan kepalanya dari sisi ke sisi.


Aku bertanya-tanya ada apa dengannya.  Tapi itu bukan karena ada masalah besar, kan?


"Lebih penting lagi, ayo kiya berjabat tangan!”


"Jabat tangan?  Kenapa tiba-tiba kita harus melakukannya?”


“Mari kita berjabat tangan untuk saling mengucapkan semoga sukses!  Kumohon!"


Nanase mengatupkan kedua tangannya dan memintaku melakukannya.


"Yah, jika itu masalahnya, baiklah..."


"Apa kamu yakin?  Yeay!”


Nanase berkata dengan gembira, dan mengulurkan tangan putihnya yang indah itu kepadaku.


Selanjutnya, dia melakukan kontak mata denganku dan mendesakku untuk mengulurkan tangan.


Aku menghela nafas dan mengulurkan tanganku.


Nanase kemudian meremas tanganku.


Tangannya lembut dan agak dingin.


“Aku dan Kiritani-kun akan bekerja keras mulai dari sekarang!  Ooh!”


Nanase tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti itu.


Tunggu, apa?  Jangan tiba-tiba melakukan sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya!


"Ayolah, Kiritani-kun, katakan 'ooh' juga!"


"Eh, o-oke.”


Rupanya, aku harus mengatakan "ooh" juga.


Karena dia sangat mendukung mimpiku, jadi aku akan melakukannya juga.


“Aku akan bekerja keras!  Ooh!”


“O-Oh!”


Apa-apaan ini?  Aku tidak tahu apa maksudnya ini.


Aku sangat kebingungan sekarang.


“Kuharap kamu bisa menjadi guru, Kiritani-kun.”


Nanase memberiku teriakan penyemangat dan menertawakanku.


Dia selalu memberiku keberanian di tempat yang paling dibutuhkan, bukan?


"Kau juga, Nanase, aku yakin kau pasti akan menjadi aktris Hollywood."



Aku juga memberi Nanase teriakan seperti itu.


Dari lubuk hatiku, aku percaya kalau dia bisa menjadi aktris Hollywood.


Di sisi lain, jika dia tidak bisa menjadi aktris Hollywood, lalu siapa yang bisa?


Dan sejak hari itu, aku mulai belajar keras untuk masuk ke Universitas Pendidikan.


Demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru.