Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sekali Kepercayaan Itu Hancur, Maka Habislah Sudah [Chapter 3]

Once Trust Is Broken, It Can’t Be Regained – No Matter What You Say Now, It Won’t Affect Me Bahasa Indonesia




Chapter 3: Hari Dimana Kepercayaanku Hancur

 

[POV Ruri]


Aku, Ruri Fujibayashi, memiliki tiga teman masa kecil yang merupakan teman baikku.  Kami bertemu di prasekolah, dan kami berempat selalu berkumpul bersama.  Ada dua anak laki-laki dan dua perempuan, dan pada titik tertentu, aku mulai mengembangkan, bukan hanya persahabatan, tetapi juga perasaan romantisku untuk Renya.  Gadis lain sepertinya juga menyukainya, tapi meski begitu, kami tetap dekat tanpa mendapat masalah apa pun.  Kupikir, persahabatan ini akan bertahan selamanya.  Sampai datangnya hari itu...


Renya ditangkap karena melecehkan seorang gadis.


Kami tidak percaya bahwa Renya telah melecehkannya.  Namun, mungkin karena dia telah dibawa ke kantor polisi, jadi semua orang di sekitarnya mempercayainya.  Renya, pria populer di kelas, menjadi musuh publik dalam sekejap.  Kami mencoba untuk tetap berada di sisinya, tetapi sulit bagi kami bertiga, yang masih duduk di bangku kelas dua SMP, untuk melawan tekanan teman sebaya di sekitar kami.


Bahkan, jika kami berpikir bahwa dia benar, tapi jika kami terus-menerus ditolak oleh semua orang, maka kami semua akan berpikir bahwa sebenarnya yang kami pikirkan itu salah.  Aku berpikir begitu.

[TL: Intinya, semakin banyak orang yang menganggapnya benar, otomatis itu akan mempengaruhi orang lain juga, dimana hal yang salah jadi benar karena banyak orang yang menganggapnya benar.]


Suatu hari, aku sedang menunggu mereka bertiga di kelas untuk pulang bersama Renya ketika guru memanggil kami.  Hari itu juga, kami ditolak oleh orang-orang di sekitar kami, dan kami juga kewalahan.  Itu sebabnya....


“Sebenarnya, bukankah Renya seorang penganiaya?”


"Tidak, tentu saja tidak."


"Tapi semua orang terus mengatakan itu..."


"Karena kamu mengatakannya seperti itu, itu membuatku berpikir begitu juga..."


“……”


“……”


"Yah, itu belum diputuskan."


"Itu benar, mari kita percaya padanya sampai dia mengatakan bahwa dia memang telah melakukannya."

[TL: Wtf?]


Itu benar.  Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan kembali ke masa itu.


Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan meninju diri kami pada saat itu.  Kami tidak dapat memaafkan fakta bahwa kami telah meragukan Renya karena mental kami terganggu.


Hari itu, meskipun aku telah menunggunya sampai jam pulang sekolah dan guru patroli memintaku untuk pulang, Renya tetap tidak muncul.


Keesokan harinya, aku pergi untuk bertanya kepadanya mengapa dia pulang duluan kemarin.


"Renya, aku menunggumu sepanjang hari kemarin, kenapa kamu pulang duluan?"


Aku tidak akan pernah melupakan ekspresi di wajah Renya saat dia menoleh ke arahku sebagai jawaban atas pertanyaanku.  Itu adalah momen kemarahan dan kesedihan karena dikhianati oleh orang yang dia percayai, menarik napas dalam-dalam, dan kemudian ekspresi kosong seolah-olah dia telah mengeluarkan semua emosinya.  Hari itu adalah terakhir kalinya aku melihat ekspresi Renya berubah.


Dia memiliki ekspresi kosong di wajahnya, seolah-olah dia telah melupakan keramahan yang dia tunjukkan padaku.


“Kau tidak perlu berurusan denganku lagi.  Kalian pikir aku melecehkannya, bukan?  Maka akan lebih baik bagi kita semua jika kalian tidak ikut terlibat denganku."


Ketika dia mengatakan itu, aku berhenti bergerak.


Dia mendengar kami!  Dia mendengar apa yang kami sangka juga!


“Kamu salah paham!  Aku tidak berpikir bahwa kamu benar-benar melakukannya!”


“Aku tidak marah padamu, kau tidak perlu menyangkalnya.  Kau berhak untuk curiga.”


Aku buru-buru menyangkalnya, tetapi saya tidak bisa mengabaikan apa yang dia katakan selanjutnya, meskipun aku bingung oleh Renya yang mengatakan bahwa wajar untuk mencurigainya sekarang setelah banyak yang dia katakan bahwa dia tidak melakukannya.


"Kurasa hubungan kita hanya dimaksudkan untuk hancur hanya karena suatu hal."


Pan!


Aku menolak perkataannya tentang hubungan yang telah kumiliki selama lebih dari satu dekade, dan aku tidak bisa menahan diri.  Jadi kemudian, dengan penuh kemarahan....


"Ini salahmu!  Kaulah yang melecehkannya!"


Aku berteriak.


Di ruang kelas yang sepi, aku mendapatkan kembali ketenanganku dan menatap Renya, tetapi tidak ada ekspresi di wajahnya.  Mungkin saja ekspresi itu adalah ekspresi pasrah, tapi aku kesal karena tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, dan qku kembali ke tempat dudukku tanpa meminta maaf padanya.


Fakta bahwa Renya tidak menyangkal apa pun, membuat orang-orang berpikir bahwa dia telah mengaku bahwa dia memang melecehkannya, dan aku terlalu canggung untuk meminta maaf padanya, dan berbulan-bulan pun telah berlalu.


Dan begitu aku naik ke tahun ketiga, gadis yang diduga telah dilecehkan oleh Renya, tertangkap.