Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sekali Kepercayaan Itu Hancur, Maka Habislah Sudah [Chapter 7]

Once Trust Is Broken, It Can’t Be Regained – No Matter What You Say Now, It Won’t Affect Me Bahasa Indonesia




Chapter 7: Minimalisme


Aku telah selesai membaca buku baru yang kubeli di toko buku dan mencoba meletakkannya di rak, tetapi tidak ada tempat disana.


"Yah, ini menyebalkan ... aku tidak bisa memasukkannya ke dalam rak buku milikku lagi."


Aku melihat ke sekeliling kamar, tetapi tidak ada ruang untuk rak buku baru.


"Ini percuma.  Aku harus membuang hal-hal yang tidak kubutuhkan agar bisa memberiku ruang.”


Aku selalu menjadi orang yang tidak bisa membuang sesuatu dan malah mengumpulkannya, tetapi aku akan mengambil risiko kali ini dan membuang semua hal yang tidak kuperlukan atau gunakan lagi.  Sudah waktunya untuk berpisah dengan mereka.


Aku pun mulai membersihkan kamarku.


[POV Ruri]


"Sudah lama yah, Sakuya.  Maaf mengganggumu."


"Sudah lama, Ruri-san.  Silakan masuk. "


Hari ini adalah hari libur, tapi aku ingin berbicara dengan Renya, jadi aku menghubungi Sakuya dan menerobos masuk ke dalam rumahnya.


Dia dulu menyukaiku, tetapi cara dia menatapku setelah waktu yang lama tampak rumit.

[TL: Dia disini maksudnya adalah Sakuya.]


'Yah, sudah sewajarnya begitu...'


Orang yang telah menyakiti kakaknya sedang berdiri di hadapannya.  Aku seharusnya dihukum olehnya, tetapi bukan itu intinya.


"Apa kamu tidak marah padaku?"


"Aku sama bersalahnya denganmu, jadi aku tidak berhak untuk marah..."


Aku penasaran dan bertanya kepadanya tentang hal itu, dan itulah jawabannya.  Rupanya, dia telah menyakiti kakaknya juga.


Kami terus berbicara, dan kami berdua merasa kurang nyaman, dan setelah beberapa saat, aku mengganti topik pembicaraannya.


"Apa Renya ada di sini?"


“Ya, dia ada di sini sekarang.  Aku mendengar suara-suara dari dalam kamarnya, seolah-olah dia sedang bekerja di pagi hari, dan dia sepertinya telah keluar beberapa kali."


Aku merasa lega karena aku tidak berakhir datang ke sini dengan sia-sia, dan setelah meminta maaf kepada Sakuya, aku menuju ke kamar Renya.  Ketika aku berdiri di depan pintunya, aku merasa ragu, tetapi aku tetap memberanikan diri untuk mengetuknya.


"Masuklah."


Aku mendengar suara yang sepertinya tidak sedang memikirkan apa-apa, tidak seperti pikiranku yang sedang kacau.


'Aku harus berani!'


Aku menghilangkan keraguanku dan membuka pintunya.


"Maaf mengganggumu, Renya."


"Fujibayashi.  Apa yang kau inginkan?"


Aku mengerutkan kening pada kenyataan bahwa dia memanggilku dengan nama belakangku, bukan nama depanku, tetapi aku berhasil untuk tetap tenang dan lanjut berbicara padanya.


"Aku ingin bicara denganmu..."


"Hmm? Masuklah."


Renya memiringkan kepalanya ketika aku tiba-tiba menerobos masuk dan meminta izin untuk berbicara dengannya, tetapi dia mengizinkanku masuk ke dalam kamarnya dan duduk di kursi sesuai yang ia perintahkan.


"Terus?  Apa yang ingin kau katakan?"


"Ehm..."


Ketika tiba saat untuk menghadapinya, aku malah kehilangan kata-kata dan membiarkan pandanganku mengembara ke seluruh kamar Renya yang sudah lama tidak aku masuki.  Kamarnya telah berubah dari apa yang kuingat.  Satu-satunya hal yang sama adalah meja dan tempat tidurnya, dan kamarnya ini dipenuhi dengan banyak buku.  Dulu disini ada bola, jersey, medali dari turnamen, dan aksesoris yang serasi yang dibeli oleh semua teman masa kecil kami, tapi sekarang semuanya sudah tidak ada.


“Sudah lama sejak aku mengunjungi kamarmu, dan kamu telah banyak berubah.  Apa yang kamu lakukan dengan semua perlengkapan dan aksesori sepak bola yang dulu kamu pajang?"


Aku tidak tahu mau mengatakan apa, jadi aku hanya mengatakan itu saja.  Aku mencoba berbasa-basi sebelum mulai ke pokok utamanya.  Ini adalah percakapan untuk meredakan keteganganku.


"Oh, aku telah membuang semuanya karena mereka memenuhi rak buku baruku."


Aku terdiam.