Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teman Adikku [Vol 1 Epilog]

My Sister’s Best Friend? My Female Friend Already? Then, What’s Next―? Bahasa Indonesia




Epilog


Di saat Rin-chan dan Ketua Kelas sedang mengobrol, tidak ada murid lain di sekitar kami, baik di lorong maupun di ruang kelas, dan hanya suara alat musik yang dimainkan oleh klub paduan suara dan klub musik tiup terdengar dari kejauhan.


"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, Ketua Kelas?"


"Karena masih ada waktu, jadi aku akan pergi melakukan kegiatan klubku!"


"Kalau begitu, apakah tidak apa-apa jika kita berpisah di sini?"


"Ya!  Ngomong-ngomong, kerja bagus!"


"Ya."


Rapat berakhir lebih awal, dan karena dia adalah anggota klub musik ringan, jadi waktu untuk berkumpul, latihan bersama dan mendiskusikan tentang masa depan akan sangat berharga baginya.  Sebagai anggota klub pulang ke rumah, aku tidak boleh menyita banyak waktunya, jadi aku memutuskan untuk langsung pulang.


"Kerja bagus juga, Mikami-senpai"


Rin-chan menundukkan kepalanya kepada Ketua Kelas.


"Ya, kerja bagus juga!  ....Ngomong-ngomong, aku sudah mengobrol dengan junior yang imut ini sejak tadi, tapi aku masih belum mendengar siapa namanya!"


"Ah ... kupikir kamu sudah tahu, makanya aku hanya diam saja."


Rin-chan terbawa oleh momentum Ketua Kelas di mana percakapan di antara mereka langsung berjalan bahkan sebelum Rin-chan sempat memperkenalkan dirinya sendiri.


"Ini mungkin terbambat, tapi ... siapa namamu?"  tanya Ketua Kelas dengan sedikit menyesal.


"Namaku Mamiya Rin.  Sekali lagi, mohon bantuannya."


Mungkin karena sedang bersikap formal. Jadi, senyuman Rin-chan tampak agak berbeda dari biasanya.


"Rin-chan~!  Kupikir aku harus memanggilmu Rin-Rin mulai sekarang!"


"I-Itu malah terdengar seperti bel sepeda..."


Ekspresi wajahnya yang agak aneh barusan langsung kembali ke ekspresinya yang biasa setelah disiram oleh betapa riangnya Ketua Kelas yang tidak tahu apa-apa.


***


Setelah berpisah dengan Ketua Kelas, kami bertemu di depan gedung sekolah seperti biasanya dan berjalan pulang bersama.


Sambil mendorong sepeda secara perlahan, aku memulai percakapan.


"Maafkan aku, Ketua Kelas memang selalu seperti itu orangnya.  Wajar saja jika Rin-chan, sebagai juniornya, merasa tidak nyaman, karena bahkan teman sekelasnya pun kadang suka memasang wajah masam saat berbicara dengannya."


"Tidak, tidak.  Awalnya aku memang terkejut, tapi aku tahu kalau dia orang yang sangat baik."


"Yah, kau tidak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, jadi kupikir tidak ada gunanya aku mengkhawatirkannya."


Meskipun sekarang dia semakin paham dengan keinginannya sendiri, tapi dia masih takut untuk terlibat dalam hubungan percintaan.  Ketika dia masih murid baru, ia sempat memiliki pacar hanya untuk membuatnya tetap berada dalam frekuensi yang sama dengan obrolan orang-orang di sekitarnya.  Karena dia sangat pandai terlibat dengan orang lain, jadi dia lebih sensitif terhadap hal-hal seperti itu daripada kebanyakan orang.


"Tapi ... dia memercayai Onii-san, kan?"


"Yah, mungkin karena hanya aku yang ada di dalam pikirannya saat ini."


"Maksudnya?"


"Dari sudut pandang Ketua Kelas, bisa dibilang hanya aku yang bisa membuatnya merasa nyaman."

[TL: Nyaman dalam artian enak diajak bergaul tanpa takut saling punya perasaan.]


"B-Bukankah itu hanya menurut Onii-san saja?"


Ekspresi wajah Rin-chan seketika berubah menjadi mendung.  Sepertinya dia telah menangkapnya dalam arti yang berbeda.


"Tidak, mungkin itu kedengarannya seperti dia menggunakanku sebagai tamengnya, tapi bukan itu yang terjadi."


"....?"


"Berdasarkan pengalaman Ketua Kelas saat kelas 1 dan kelas 2, menurutnya, yang paling nyaman itu adalah saat berinteraksi denganku."


"Apakah itu ... hubungan tanpa perasaan yang kamu bicarakan sebelumnya?"


"Benar.  Karena kepribadiannya yang ceria dan ramah kepada semua orang, ditambah seperti yang bisa kau lihat, dia juga memiliki penampilan yang menarik, jadi dia sangat populer di sekolah."


"Dia juga sangat modis..."


"Itu karena dia sengaja melanggar peraturan sekolah.  Apalagi, ia juga didukung oleh para murid yang tidak puas dengan peraturan sekolah yang ketat.  Yah, sebagai hasilnya, evaluasi dari guru terhadapnya menjadi sedikit keras meskipun dia sangat berprestasi."


"K-Keren..."


Alih-alih memberontak dengan cara yang buruk terhadap kurangnya mode dan membuat orang-orang di sekitarnya semakin tidak nyaman, dia malah terus maju hingga titik mendapatkan pengakuan dan persetujuan.  Inilah yang sangat menakjubkan tentang Ketua Kelas.


"Aku juga berpikir begitu."


Aku juga terkejut dengan kemampuan tingkat tinggi milik Ketua Kelas.  Aku sudah tahu kalau dia luar biasa ketika aku masih murid baru yang tidak banyak berhubungan dengannya.  Tetapi baru-baru ini, ketika aku melihatnya lebih dekat, aku mulai merasa bahwa dia jauh lebih menakjubkan daripada yang kukira.


"......Apakah Onii-san benar-benar tidak memikirkan apa-apa tentang Mikami-senpai?"


Setelah beberapa saat, Rin-chan kembali mengangkat topik itu lagi.


"Maksudmu Ketua Kelas?  Aku sendiri sangat penasaran mengapa dia begitu bijaksana dalam banyak hal.  Aku bertanya-tanya pemikiran fleksibel seperti apa yang kubutuhkan agar bisa memiliki pandangan yang luas sepertinya..."


"Tidak, bukan itu.  Maksudku, sebagai objek ketertarikan romantis?"

[TL: Intinya sih melihatnya sebagai wanita, bukan teman biasa.]


Tidak seperti biasanya, Rin-chan menyela pertanyaanku dan mengajukan pertanyaan lainnya.


"Tidak."


Aku hanya bisa memberikan jawaban "Tidak" untuk pertanyaan itu.


"Kenapa?"


"Kenapa...?  Yah, itu karena Ketua Kelas mengatakan bahwa dia tidak pandai dalam hal semacam itu, jadi tidak perlu bagiku untuk memikirkannya."


"Apakah Onii-san tidak memiliki ketertarikan padanya....?"


"Ketertarikan?"


"Bahkan jika pihak lain mengatakan hal seperti itu, kupikir ketika kamu dipercaya oleh seseorang yang begitu menarik seperti dirinya, dan ketika kamu menjadi begitu dekat dengannya, kamu mungkin akan mulai menyadari tentangnya......"


Aku tidak tahu mengapa Rin-chan begitu peduli tentang hal itu, tetapi karena aku berpikir kalau dia sedang serius, jadi aku memutuskan untuk menyampaikan pendapatku apa adanya.


"Keinginanku hanyalah untuk memiliki hubungan yang baik dengan Ketua Kelas."


"Eh...?"


"Hubungan di mana kami tidak perlu memikirkan hal-hal seperti pacaran atau semacamnya sehingga membuat kami bisa bersikap natural.  Dan kami juga bisa membicarakan tentang hal-hal negatif yang sekiranya akan membuat reputasi kami menurun jika kami membicarakannya secara blak-blakan dengan orang lain."


"..."


"Ketika perasaan cinta mulai terlibat, maka perasaan malu dan kekhawatiran yang tidak perlu akan muncul ke permukaan.  Hal semacam itu mungkin akan menjadi faktor yang akan memperburuk hubunganku dengan Ketua Kelas.  Maka dari itu aku tidak ingin memikirkan apa pun soal perasaan romantis terhadapnya."


Apa yang sedang dicari Ketua Kelas saat ini adalah orang yang bisa ia percayai tanpa ragu, yang akan terus mendukungnya setelah mengetahui tentang situasinya saat ini.  Dan karena aku tahu betapa hebatnya Ketua Kelas, jadi aku ingin memainkan peran itu untuknya jika itu memungkinkan.


Aku bukannya tidak memiliki niat untuk jatuh cinta padanya, karena faktanya, kami bahkan tidak dalam proses untuk menjalin suatu hubungan.  Kupikir Ketua Kelas sengaja membuat kami terlihat cukup dekat sehingga orang-orang di sekitar kami mengira bahwa kami sedang berpacaran.


".....Itu sulit, bukan?  Tentang jatuh cinta dan terlibat dengan orang lain?"


"Tidak juga.  Kupikir itu karena kapasitas pola pikir Ketua Kelas yang terlalu besar dan menyimpang dari kebanyakan orang, jadi kau tidak seharusnya menganggapnya terlalu serius."


Dia terlalu pandai dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, khususnya ketika dia masih kelas 1 di mana ia ingin cepat-cepat memiliki pacar karena terdorong dari orang-orang di sekitarnya


"Tapi ... Onii-san terlibat dengan orang seperti itu......."


"Sebenarnya, bisa dibilang aku tidak melakukan apa-apa dengannya.  Aku hanya bertugas untuk mengamatinya dari samping dan melakukan apa yang disuruh olehnya.  Itu saja."


"Kalau begitu, .....menurut Onii-san, cinta itu apa?"


"Yah..."


Sejujurnya, aku tidak tahu.  Ini sangat tidak keren jika aku menjawab tidak tahu setelah mengatakan sebanyak itu.


Kira-kira, apa yang akan dikatakan oleh adikku jika ia berada dalam situasi ini?


"....Bertentangan dengan apa yang kukatakan sebelumnya, kupikir perasaan malu dan kekhwatiran yang tidak perlu akan memiliki peran penting dalam hal percintaan...........?"


"Begitu."


Kata-kata yang kuucapkan secara asal sepertinya tidak terlalu menyengat Rin-chan, dan reaksinya juga tampak biasa-biasa saja.


Tapi, itu memang benar.  Sekarang, aku merasa bahwa hubunganku dengan Ketua Kelas mungkin lebih rumit daripada yang terlihat jika aku mencoba melihatnya secara mendetail.


.....Tunggu sebentar.  Setelah menyangkal itu semua, sebuah pikiran muncul di kepalaku seolah-olah aku tidak pernah menduganya sama sekali.


Aku mengatakan beberapa saat yang lalu bahwa rasa malu dan kekhawatiran itu penting.  Mungkin, apa yang baru saja kukatakan barusan adalah bagian dari perasaanku yang sebenarnya yang entah bagaimana kurasakan, meskipun aku tidak terlalu mengerti tentang apa itu cinta.


Ketika Rin-chan tertekan karena nilainya tidak sesuai dengan usahanya dalam belajar.


Ketika dia mengungkapkan kepahitannya dalam hubungan sosial karena tidak bisa melakukannya sendiri.


Saat liburan musim panas, ketika Rin-chan datang untuk mengungkapkan pikirannya sedikit lebih jujur ​​dengan bermodalkan brosur es krim yang diberikan oleh adikku selama hari-hari yang dipenuhi dengan jadwal les yang padat.


Tindakan yang kuambil pada saat itu -- ketika aku memikirkannya kembali, kata-kata yang bisa kuungkapkan dalam satu kata adalah "perhatian".


Ketika aku merasakan upaya tulusnya, kesedihannya, dan sedikit rasa irinya, aku merasa seolah-olah kami terus melangkah lebih maju, meskipun dengan langkah yang sangat kecil.


Teman adikku--


Adikku, yang telah bekerja keras di usianya untuk mendukungku dan seluruh keluarga, adalah gadis manis dan lemah yang sangat kupercaya, jadi tentu saja aku ingin membantunya jika aku bisa.

[TL: Membantu untuk menjaga sahabatnya, yaitu Rin-chan.]


Pada awalnya, aku setengah merasa seperti itu dan setengah merasa tidak ingin ikut campur karena aku tidak ingin membuatnya takut karena perbedaan usia dan posisiku yang sensitif sebagai kakak dari temannya.


Ketika keseimbangan dari dua perasaan yang berlawanan ini terdistorsi oleh emosi yang tersampaikan oleh gerakan dan gesturnya, aku akhirnya bisa berbicara langsung dengannya dan memberikan dukunganku untuknya.


Setelah itu, dia selalu tersenyum.  Dia selalu terlihat cantik, tenang, dan serius.  Ketika melihatnya tertawa bahagia, entah kenapa, aku merasa tergerak.


Jika aku harus mengungkapkan perasaan yang selalu ada di dalam diriku pada saat itu dalam satu kata, maka hanya kata "perhatian" yang bisa menggambarkannya.  Tapi meski begitu, bukan berarti aku tidak memedulikan Ketua Kelas.

[TL: Maksud dari kalimat terakhirnya adalah, hanya karena MC gak punya perasaan apa-apa ke Ketua Kelas, bukan berarti dia gak peduli.]


"Aku tidak mengerti...."


Jika ada sesuatu yang terjadi pada mereka, baik terhadap Rin-chan maupun kepada Ketua Kelas, dan kebetulan aku bisa membantu mereka, maka aku akan melakukannya.


Tapi, aku tidak pernah membicarakan tentang kehidupan pribadiku kepada Rin-chan lebih dari yang seharusnya, dan aku juga tidak pernah terpikir untuk melakukannya.


Namun, aku mengandalkan Ketua Kelas ketika aku membutuhkannya, dan aku juga telah berbagi beberapa hal yang menurutku ceroboh atau salah.


Aku secara alami merasa "malu" terhadap Rin-chan.

[TL: Intinya sih dia merasa bersalah karena deketnya sama Rin-chan tapi curhatnya malah ke Ketua Kelas.]


Tidak, mungkin lebih tepat jika menyebutnya "belagu".


Aku menoleh ke samping dan melihat wajah Rin-chan.


"Ada apa?"


Wajah rapinya yang biasa menatap ke arahku.


Berdasarkan apa yang kami bicarakan tadi, aku sampai pada suatu kesimpulan.  Dan kesimpulannya adalah---


"Tidak......."


Aku tidak dapat mengatakan apa-apa setelahnya.  Aku tidak dapat mengutarakan hal-hal yang terus berputar di kepalaku, dan aku tidak dapat mencari kata yang tepat untuk menggantikannya.


"Bisakah kamu jujur tentang apa yang sedang kamu pikirkan?"


Mata transparannya menembus ke dalam hatiku.


"Jika hubunganku dengan Ketua Kelas seperti itu, lalu hubungan seperti apa yang ada di antara kita?"


"...!!"


"Jika aku harus menyimpulkan apa yang baru saja kukatakan, aku merasa bahwa apa yang telah kulakukan selama ini hanyalah menyakiti Rin-chan."


Sebelum aku bisa menemukan kesimpulan tentang masalah yang timbul dalam diriku, pernyataanku justru langsung menyakiti Rin-chan dalam sekejap.


Rin-chan hanya bisa menundukkan wajahnya dan tidak mengatakan apa-apa sambil memegangi tangannya dengan erat.


"Karena kau adalah ...... teman adikku."


Aku selalu mengikutinya karena dia adalah temannya yang paling berharga.  Hanya sebatas itulah hubungan di antara kami.  Oleh karena itu, wajar bagiku untuk merasa perhatian padanya dan tidak mempermalukan diriku sendiri sebagai kakak temannya.


Sepertinya, aku masih belum memahami apa itu cinta.


Tidak.  Aku mulai berpikir bahwa itu tidak ada gunanya.  Aku merasa bahwa tidak ada gunanya jika baru memikirkannya sekarang.


Tidak peduli betapa konyolnya teman-temanku, tapi mereka semua sudah punya pacar dan memiliki pandangan tersendiri tentang apa itu cinta.


Meskipun aku kurang lebih pandai berbicara di depan teman-temanku, tapi ketika aku memikirkannya seperti ini, aku jelas merasa bahwa aku sangat tertinggal dari mereka.


Aku terlibat dengan Ketua Kelas dengan perasaan yang ringan, jadi kami bisa santai dan tidak merasa bosan satu sama lain.  Kupikir ini adalah alasan utama mengapa kami bisa berhubungan baik sekarang.  Namun, ketika aku memikirkannya dengan cara ini, sepertinya aku telah bertindak berdasarkan keinginan bawah sadarku untuk menutup perasaan dan minatku terhadap cinta, yang menurutku sebagai subjek yang sangat sulit.


Aku, yang pada dasarnya ingin menghindari konfrontasi serius dengan lawan jenis, dan Ketua Kelas, yang ingin menghindari kehidupan cintanya sendiri, mungkin memang sangat cocok dalam hubungan kami saat ini.


"Sungguh menyedihkan...."


Jika aku bisa menghadapi lawan jenis dengan caraku sendiri, dan aku bisa menjalin hubungan dengan seseorang sekarang, kupikir itu cukup keren, meskipun aku tidak ingin mengakuinya.


"Onii-san, maukah kamu mendengarkanku sebentar?"


"Hmm?"


"Mengapa kamu tidak memulainya dengan berhenti mendefinisikanku sebagai "teman adikmu" dalam hubungan kita?  Jika kamu melakukannya, kupikir kamu akan mendapatkan jawaban atas apa yang sedang mengganggumu saat ini."


"Berhenti mendefinisikanmu sebagai teman adikku?"


"Kupikir kata "berhenti" mungkin memiliki artian yang sedikit berbeda.   Jadi, mengapa Onii-san tidak memperlakukanku tanpa harus menganggapku sebagai teman adikmu?"


"Yah, bahkan jika kau berkata begitu, tapi kau tetaplah temannya."


"Itu tergantung bagaimana kamu melihatnya.  Kupikir Onii-san memiliki terlalu banyak perasaan yang campur aduk untukku sekarang karena aku adalah temannya Saki."


"....Kau benar."


Perasaanku untuk Rin-chan sekarang adalah untuk mendukungnya dengan cara apa pun yang kubisa.  Aku hanya ingin membantu teman yang adikku sayangi.


"Onii-san bilang kalau apa yang Onii-san lakukan selama ini mungkin menyakitkan bagiku, kan?  Tapi itu tidak benar.  Daripada merasa begitu, aku malah merasa sedih karena Onii-san lebih menganggapku sebagai teman adikmu  dan bukan sebagai temanmu."


"Eh?"


"Aku merasa bahwa alasan kenapa Onii-san begitu baik kepadaku adalah karena Saki, jadi aku sedikit cemburu padanya......"


Mungkin karena malu saat mengatakannya, jadi suaranya menjadi semakin pelan dan dia menutup mulutnya di akhir.


"Tidak, tidak!  Aku tidak bermaksud begitu!  Ketika aku mengatakannya seperti itu, itu malah terdengar seolah-olah aku menuduhmu sebagai siscon!"


"Tidak, tidak.  Kupikir apa yang kau katakan ada benarnya juga......."


"Tidak mungkin....."


Dia memang adikku yang imut yang membuatku ingin melakukan apa saja untuknya.


"Jadi, mulai sekarang, bisakah kamu memperlakukanku tanpa memikirkan tentang itu?"


"......Tapi, apa yang akan kau lakukan jika aku tiba-tiba berubah menjadi dingin karena meninggalkan cara berpikirku saat ini?"


"Aku akan mengadu sambil menangis kepada Saki."


"A-Aku akan melakukan yang terbaik..."


Jka ia benar-benar melakukan itu, adikku mungkin tidak akan pernah membiarkanku masuk ke rumahnya lagi.


"Aku bercanda.  Aku tidak akan melakukan itu, kok.  Karena Onii-san pasti akan membantuku apa pun yang terjadi!"


"Bukankah kau terlalu memujiku?"


"Tentu saja tidak!  Bukankan Onii-san telah memanjakanku selama dua tahun ini?!  Dan juga……"


Rin-chan dengan lembut menyentuh ujung lenganku, dan berkata,


"Aku akan melakukan apa pun yang kubisa agar Onii-dan dapat melihatku sebagai pribadi......!"


"O-Oh...."


Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan nantinya.


"Karena Onii-san kelihatannya sedang kebingungan, jadi aku akan melakukan langkah pertamaku hari ini....."


Tangan Rin-chan, yang dengan lembut menyentuh ujung lengan bajuku, tiba-tiba meraih tanganku dan menggenggamnya.


Pada saat yang sama, aku merasakan sensasi yang berbeda dari saat tangannya menyentuh ujung lengan bajuku.


"Terima kasih untuk segalanya."