Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teman Adikku [Vol 1 Chapter 25]

My Sister’s Best Friend? My Female Friend Already? Then, What’s Next―? Bahasa Indonesia




Chapter 25


Ketika kami tiba di rumah, aku akhirnya bisa membongkar semua barang belanjaan yang dibeli oleh adikku.


"Ya, kerja bagus.  Aku akan membersihkan kulkasnya, jadi kau bisa memasukkannya nanti."


"Haiiiiiii."


Saat membujukku, adikku bilang kalau itu adalah kencan, tapi semuanya malah berjalan seperti ini.  Menyedihkan.


Yah, karena barang belanjaannya adalah keinginan adikku semua, jadi aku menyuruhnya untuk merapikannya sendiri.


Aku kembali ke kamarku dan mengganti pakaianku lalu berbaring di tempat tidur.  Ketika aku melihat ponselku, Haruki, Yukito, dan Ketua Kelas sama-sama menghubungiku.


"Balasnya nanti sajalah..."


Kami bertiga biasanya memiliki percakapan sehari-hari yang santai.  Tapi sekarang, aku sangat mengantuk.  Belanja sangat melelahkan.


Penampilan Rin-chan barusan mungkin akan mengarah ke arah yang tak terduga.  Dan aku kewalahan karena tensinya.


Aku meletakkan ponselku dan tertidur hingga malam.


Saat makan malam, adikku membuat pasta menggunakan okra merah yang membuatnya terlihat stylish.  Itu benar-benar lezat, tapi aku tidak merasa bahwa itu harus dicampur dengan okra merah.  Tentu saja, aku tidak mengatakan itu secara terbuka karena kupikir itu sama saja seperti minta dipukul.


Dan pada hari Sabtu yang gelap, aku menghabiskan waktu menganggurku tanpa melakukan apa pun.


Sebenarnya aku bisa saja belajar pada hari libur, tapi aku tidak ingin melakukannya karena aku juga memiliki waktu luang pada hari sekolah.


Haruskah aku berguling di tempat tidur sambil menonton video atau membaca buku?


Sementara itu, adikku sedang main keluar bersama temannya yang lain selain Rin-chan.


"Aku tidak dalam posisi yang bisa mengatakan bahwa Saki sangat berbeda dengan Rin-chan..."


Karena kakaknya sendiri saja sangat berbeda dengan dirinya.


***


Tanpa terasa, sudah sekitar dua minggu sebelum semester baru dimulai, dan bulan April akan berakhir.


Di sekolah kami, ujian tengah semester akan dimulai pada pertengahan Mei, jadi tepat setelah Golden Week selesai, itu akan menjadi minggunya ujian.


Dan tentu saja, kebanyakan orang hanya akan membicarakan tentang liburannya dibanding krisis ujiannya.


"Apakah kalian berdua memiliki kegiatan klub saat Golden Week?"


"Aku memiliki latih tanding.  Bagaimana denganmu, Yukito?"


"Aku tidak tahu akan libur atau tidak.  Tapi sepertinya aku akan ada latih tanding dengan SMA lain."


"Itu pasti sulit untuk kalian berdua."


"Aku sebenarnya tidak ingin malas-malasan, tapi setelah melihatmu yang luang terus, aku jadi iri."


"Itu benar."


Bagi dua orang yang bergabung dalam klub olahraga, Golden Week tentu menjadi waktu yang tepat untuk melakukan latih tanding.


Jika kau memiliki begitu banyak hari libur, kau akan dapat dengan mudah menjadwalkan pertandingan.


"Karena kau tidak punya pacar, jadi apa yang akan kau lakukan?"


"....Kau tidak perlu menyebutkan kalimat yang pertama.  Lagi pula bukankah kau sudah mendengar jawabannya saat liburan musim semi?"


"Oh, yang mana?  Yang kau bilang akan tidur terus?  Waktu itu kau bilang ingin keluar dan bermain, tapi giliran diajak masuk klub, kau malah menolaknya.  Aku kecewa padamu."


"B-Berisik!"


Pada akhirnya, itu berubah menjadi olokan, seolah-olah mereka mengkritik kemalasanku.  Ini membuatku kesal.


"Haruki juga merasa seperti itu, kan..."


"Eh?  Kenapa?"


"Tidak, maksudku ... kita tidak punya banyak waktu untuk berkumpul akhir-akhir ini."


"..."


Yup, aku tidak bisa masuk ke dalam percakapannya lagi.


"Bukankah akan lebih baik jika kau mudah untuk diajak?"


"Kami ingin melakukan apa pun yang kami bisa untuk membuatmu bahagia ketika kita bisa bertemu, tapi kamu sepertinya berpikir dengan cara yang berbeda, jadi kami mulai menyerah, dan aku juga merasa kalau kita semakin jauh."


"Yah ... kau agak berbeda dari kita berdua."


"..."


"Touma?"


"Tidak apa-apa, lanjutkan saja."


"Touma ... mengapa kau tidak mengundang seseorang saja untuk diajak bermain saat Golden Week nanti?"


Haruki, yang merasakan perubahan suasana dalan diriku, membuat proposal seperti itu.


"Tidak, tidak!"


"Mengapa kau begitu keras kepala?"


Dua orang ini memiliki ekspresi sedih di matanya.  Ini akan lebih mudah jika mereka mengabaikanku atau meledekku dengan lelucon yang lucu.


Bahkan jika teman-temanku melihatku dengan tatapan seperti itu, dan hatiku terasa sakit saat melihatnya, aku tinggal pergi saja ke tempat biasa sepulang sekolah untuk belajar bersama Rin-chan.


"Kerja bagus, Onii-san."


Dia menyambutku dengan senyuman dan suara ceria.


Hanya dengan ini saja, hatiku yang terluka sudah tersembuhkan.


"Ini saja sudah cukup...!!"


Rin-chan, yang tidak tahu apa-apa, memiringkan kepalanya keheranan.


"Ada apa?"


"Teman-temanku meledekku, tapi untuk yang hari ini, itu menyakiti hatiku..."


"Oh, begitu ... itu pasti sulit bagimu."


Aku menceritakan kepada Rin-chan apa yang terjadi tadi sebelum kami memulai sesi belajar.


"Kupikir mereka teman yang baik.  Setelah mendengar tentang pacarnya Saki, kupikir situasimu lebih baik."


"Benarkah?"


"Mungkin Saki tidak berbicara banyak dengan kakaknya.  Jadi, aku hanya akan mengatakan ini di antara Onii-san dan aku saja, tapi dia adalah orang yang merepotkan."


"Begitu.  Kupikir itulah alasan mengapa aku berpikir bahwa reaksinya pada hari Sabtu agak berlebihan."


"Itulah yang terjadi.  Ngomong-ngomong, apakah Saki memasak dengan bahan yang kalian beli Sabtu lalu?"


"Ya, dia membuat pasta dengan Okra Merah.  Apakah dia tidak menceritakannya padamu?"


"Saki bilang aku tidak mengatakan apa-apa padanya tentang nilai-nilaiku, tapi Saki juga tidak mengatakan apa-apa tentang dirinya yang memasak..."


"Begitu, yah."


Ngomong-ngomong, dia tampak puas, dan kupikir level keahliannya cukup tinggi.  Aku penasaran apakah dia masih merasa tidak sebanding dengan Rin-chan?


Semakin aku mendengarnya, semakin penasaran aku dengan skill memasak Rin-chan.


"Jika kamu bilang ia membuat pasta stylish seperti itu, aku jadi ingin melihatnya."


"Yah, kupikir aku juga harus menunjukkannya kepada Rin-chan.  Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya tentang seberapa baik Rin-chan dalam memasak karena adikku sangat menyanjungmu."


"Apa kamu ingin mencoba masakanku?"


"Eh?"


"Eh?"


Kata-kata yang kuucapkan untuk memperpanjang percakapan kami rupanya telah menjalar ke arah yang  tidak kusangka.


Nada terkejut dan nada linglung kami adalah reaksi yang berbeda dari pengucapan karakter yang sama.


"Apa yang baru saja kau bilang?"


"Ya, jika Onii-san penasaran, kamu bisa mencaritahunya sendiri dengan mencobanya langsung.  Maka dari itu aku bertanya apakah kamu mau mencobanya?"


"Oh ... aku mengerti..."


"Ah!  Kamu bilang kamu tidak ditemani siapa-siapa saat Golden Week, kan?!"


"Ya."


"Saat Golden Week nanti, aku akan membuatkanmu makan siang!"


"Di mana?"


"Karena aku yang memasak, jadi tentu saja di rumahku!"


"Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"


"Kemungkinan tidak."


"Kemungkinan tidak apanya?"


"Tentu saja, kemungkinan mereka tidak akan mengusirmu!"


Kupikir aku barusan mendengar kata-kata yang berbahaya, tapi ekspresi wajahnya tersenyum, jadi kuanggap jika itu hanya imajinasiku saja.


"Tapi, aku tidak mau mengganggumu hanya untuk itu..."


"Belajar!  Jika Onii-san memberi tahu orang tuaku kalau ujiannya sudah dekat, mereka pasti akan mengerti!"


"Hmm..."


Itu mungkin benar, tapi belum tentu ketegangannya bisa dihilangkan begitu saja.


"Bukankah kamu ingin membandingkan masakanku dengan Saki?  Jika kamu memakan masakanku lalu memuji masakan Saki, itu akan membuatnya semakin percaya diri!"


"Yah, itu benar.  Tapi..."


"Apakah kamu tidak mau...?"


Bahkan setelah mendengar saran dari Rin-chan, aku masih belum bisa memutuskannya, dan dia hampir terlihat sedih.


"Itu tidak benar!"


"Kalau begitu, anggap saja ini utang dan aku akan membayarnya kembali nanti!"


Aku tidak ingat pernah melakukan sesuatu untuk dapat imbalan, apalagi menjadi dekat dengan adikku sudah lebih dari cukup bagiku, tapi apakah dia seputus asa itu hingga mengatakan itu?


"Baiklah.  Kalau begitu, ayo kita atur jadwalnya nanti."


Ketika aku mengatakan itu, ekspresi di wajahnya menjadi cerah.  Dia terlihat jauh lebih menarik ketika wajahnya yang sedih berubah menjadi wajah yang ceria.


"......Ya!!!"


"Kalau begitu, mari kita mulai belajar."


"Ya.  Ah, kalau diingat-ingat, ada pemberitahuan bahwa ada kuis untuk setiap mata pelajaran."


"Oke.  Kalau begitu, mari kita periksa poin-poin penting di setiap mata pelajarannya."


Setelahnya, kami menghadapi pembelajaran yang serius.


Di ruang kelas di mana hanya ada sedikit suara dari kegiatan klub yang masuk melalui jendela, ada suara dari dua orang yang saling berdiskusi dan suara pena yang berlarian di atas kertas.